Mengasah Imajinasi Anak Melalui Dongeng

Imajinasi anak-anak itu seringkali menakjubkan. Melalui pertanyaan dari mereka, aku seringkali mendapat pencerahan “oh iya… ya… Kok aku gak terpikir sebelumnya, ya” batinku. Oleh sebab itu, aku berusaha memancing imajinasi si K melalui kegiatan mendongeng. Aku berharap imajinasinya bisa mengembang dengan baik. Imajinasi adalah harta karun langka yang banyak anak milenial tidak memilikinya.


Dulunya, aku membacakan dongeng untuk si K dari buku cetak maupun digital. Sempat terhenti beberapa saat karena kesibukan. Aku kemudian memulainya lagi dengan cara yang berbeda yaitu dengan mengarang dongeng untuknya secara langsung.

Mendongeng untuk si K secara sepontan membutuhkan imajinasi yang kuat juga. Sehingga aku pun mau tidak mau ikut mengasah imajinasi yang selama ini sudah banyak terkikis oleh dominasi logika.

Selain untuk mengasah imajinasi, aku menggunakan dongeng untuk menciptakan bonding dengan si K. Setelah seharian hubungan kami renggang karena banyak hal maka sebelum tidur diperbaiki melalui kegiatan mendongeng itu.

Aku tidak begitu memikirkan pesan apa yang mau disampaikan di dalam dongeng. Alurnya nyambung atau tidak, logis atau tidak, bahkan si K paham atau tidak bukanlah hal yang penting bagiku. Yang paling penting membuatnya berimajinasi, berinteraksi denganku, dan merasa diperhatikan.

Aku sering kali ngeblank. Berhenti sejenak. Tidak tahu lagi mau ngomong apa. Tidak ada inspirasi alur lanjutannya seperti apa. Seringkali si K yang memancing lanjutannya. “Angsanya sakit perut gak?” tanyanya saat aku kehabisan ide menceritakan angsa yang sedang kelaparan mencari makan. Aku pun kemudian mendapat ide lanjutan. “Oh ya. Dia sakit perut. Kemudian bla bla bla…”.

Saat inspirasi cerita sudah dapat namun tiba-tiba si K menanyakan atau mengomentari sesuatu bisa juga membuatku ngeblank. Lupa lanjutan cerita yang sebelumnya sudah terfikirkan. “Kok kasihan men ya angsanya” katanya menyela. Ketika aku seudah menguasai alur tiba-tiba dia menyela lagi “Lha anak-anaknya kemana?”. Aku harus menjawabya dulu. Ide alur yang mau disampaikan hilang lagi.

Aku mengarang dongeng untuk si K saat dia sudah berdoa untuk tidur. Lampu sudah dimatikan. Dia tiduran di bahuku atau aku memeluknya dari belakang. Dengan cara seperti itu, dia lebih mudah tidur.

Berbeda saat aku membaca dongeng menggunakan buku atau HP dengan lampu masih menyala. Biasanya dia malah menjadi aktif berusaha menirukan apa yang diimajinasikan dari dongeng yang didengarnya. Setelah dongeng selesai dibacakan pun dia masih susah untuk tidur.

Leave a Reply