Aku kaget ketika beberapa hari yang lalu Ayi minta ijin untuk marah-marah. “Aku ojo diseneni yo mengko nek uring-uringan…”. Aku menyadari memang ada sebuah kejutan dari seseorang yang membuat dia sangat marah. Kepercayaannya yang dibangun selama ini menjadi hancur seketika akibat kejadian itu. Ditambah lagi pengaruh “gawan bayi” yang membuat mood swingnya sperti rollercoaster saja. Yang membuatku kaget adalah kenapa dia harus ijin dulu untuk marah-marah.
Sejenak aku berpikir sambil menguasai kekagetanku itu. Kemudian aku bertanya dengan penuh ekspresi “kira-kira butuh berapa hari?”. Aku mengubah posisi duduk untuk memberi isyarat bahwa benar-benar memperhatikannya. Dia menjawab “ya sakcukupe lah” jawabnya sambil tertawa.
“Ojo suwe-suwe lah nek iso. Mosok ra mesakke aku?” timpalku kemudian kami tertawa bersama.
Aku benar-benar bisa merasakan ada guratan-guratan luka di hatinya yang masih terbuka. Selama masa marah-marah itu, aku berusaha memposisikan diri sebagai tempat sampah yang dapat menampung segala pelampiasan kekecewaan dan kemarahannya. Selama itu pula, aku lebih banyak mengajaknya keluar untuk mengekspresikan kemarahannya itu di sana. Agar tidak ada keluarga atau kenalan yang mengetahui hal itu. Kami menyimpannya serapi mungkin.
Untungnya waktu itu bersamaan dengan Ayi menang lomba nulis juara satu dan mendapat hadiah uang tunai. Sehingga hangout kami selama itu terasa pantas adanya. Bukan sesuatu yang “njanur gunung”. Wajar kan kalau habis menang lomba jalan-jalan terus & jajan terus? Keluarga dan kenalan tak perlu tahu alasan sebenarnya kenapa kami tampak berfoya-foya saat itu.
“Gusti Allah ki pancen iso wae nek ngajak guyon, kok”. Celetuk Ayi di sela-sela pembicaraan kami. Di satu sisi, ada hati yang terluka. Di sisi lainnya, kami masih bisa tertawa-tawa menikmati garis takdir dari-Nya. Aku salut padanya. Ayi yang sekarang jauh lebih kuat dalam menghadapi masalah. Kalau dulu bawaannya mudah baper, nangis, membuat status melo, nyindir-nyindir lewat status, merasa terzalimi, dll. Sekarang sudah mampu mengelola konflik batinnya dengan sangat cakep.
Kami memiliki kesimpulan kalau masalah dalam keluarga bisa diketahui orang luar bisa jadi karena support system keluarga tersebut buruk. Entah si suami atau si istri yang gak asyik diajak rembukan menyelesaikan masalah. Atau bisa juga memang keduanya suka menimbun atau lari dari masalah. Walhasil suka dar der dor tembak sana sini dengan kata-kata nylekit dan puncaknya menjadi orang yang merasa selalu terzalimi (playing victim) kemudian mengutip hadis tentang doa orang terzalimi itu makbul untuk dijadikan status.
Terimakasih Ay telah menjadi partner yang sangat cantik memainkan peranmu. Semoga kita bisa selalu menjadi kaca yang dapat digunakan untuk bersolek satu sama lain. Kita sudah bisa melewati fase “jengkel” ketika diingatkan atau disalahkan oleh pasangan.
Boleh dong aku dikasih cerita bagaimana perasaanmu selama marah-marah itu? Bagaimana perlakuanku selama itu. Saran perbaikan untukku juga tentunya.