Menyambut Kelahiran Anak Kedua

Aku mengira kelahiran Hada masih sekitar dua minggu lagi. Berdasar HPL yang kami terima, Hada akan lahir pada 16 februari. Itu artinya masih 3 minggu lagi. Namun aku memperkirakan akan maju satu minggu. Oleh sebab itu, aku memutuskan menggunakan uang dari AdSense untuk membeli dipan terlebih dahulu. Hal ini aku lalukan karena merasa kasihan melihat Ayi sering merintih kesakitan saat bangkit dari tempat tidur. “Sehabis melahirkan tentu jauh lebih payah lagi” batinku.
Pada hari pengiriman dipan yang telah ditentukan, penjual dipan mengabari butuh waktu lebih lama membuat dipannya karena pengrajinnya masih mengerjakan antrian pesanan sebelumnya. Dia mengabari kalau dipannya akan dikirim keesokan harinya. Esok paginya, Ayi memberitahuku kalau perutnya sudah mengalami kontraksi sejak semalam.
Aku santai saja mendengar hal itu. Berhubung dipan mau dikirim hari itu, aku membongkar kamar secara penuh sambil memantau Ayi yang seringkali meringis menahan kontraksi. Setelah selesai membongkar kamar, aku meminta Ayi untuk segera mandi kemudian mengantarnya ke klinik.
Aku mengajak serta si K untuk mengantar ibunya ke klinik. Sesampainya di sana, Ayi langsung diperiksa seorang bidan dan dinyatakan baru masuk pembukaan satu. Saat itu juga, aku langsung mbatin “ini kemungkinan lahirnya masih besok”. Hal itu aku simpulkan dari durasi dan frekuensi kontraksinya.
Setelah ditunggu sampai sore durasi dan frekuensi kontraksinya tidak bertambah secara signifikan, aku semakin yakin kalau anakku akan lahir esok hari. Aku pun mengantarkan si K untuk pulang terlebih dahulu. “Malam nanti adalah perjuangan yang melelahkan. Si K sebaiknya tidak ada di sini” batinku.
Menjelang adzan maghrib, aku sudah sampai klinik lagi membawa perlengkapan yang dirasa akan dibutuhkan. Saat itu, Ayi masih mampu sholat maghrib namun ketika waktu isya tiba, dia sudah tidak mampu lagi (ini sebagai catatan nanti kalau mau mengqodlo sholat setelah nifas selesai).
Sejak waktu isya datang, aku sudah merasa sangat mengantuk. Mau tidur takut dianggap sebagai suami yang tidak peduli pada istri dan mau enaknya saja. Mau tetap melek rasanya kok mudah sekali tersulut emosi. Rasanya sensi banget entah kenapa. Untuk saja ada Doula, bidan yang bertugas secara khusus menemani dan membantu Ayi selama proses kontraksi terjadi.
Pukul 22 aku sudah tak tahan lagi ingin tidur. Aku nekat pamit tidur pada Ayi. Dia mempersilahkan. Doulanya pun mempersilahkan. Hanya saja, setelah masuk kamar, aku gak bisa tidur. Glimbang-glimbung tok. Perutku terasa melilit seperti sedang diremas-remas. Dadaku terasa nyeri. Sensasi refluks terasa sangat kuat. Beberapa kali aku sempat berhasil tidur sekejap namun terbangun tiba-tiba seperti kaget, detak jantung berdebar tak karuan. Hal ini berulang berkali-kali hingga membuatku takut untuk tidur lagi.
Pukul setengah dua pagi, aku mendengar nafas Ayi semakin cepat dalam waktu yang lama. Aku dengarkan dengan seksama. Durasinya lumayan panjang. Aku pun memutuskan untuk melihat kondisinya. Aku berfikir durasi kontraksinya sudah cukup masuk ke proses persalinan.
Ternyata benar. Belum juga aku keluar kamar sudah terdengar seorang bidan berlari-lari memanggil bidan yang bertugas memimpin proses persalinan karena ketuban Ayi sudah pecah. Aku baru mau keluar sampai pintu kamar, Doula tampak keluar dari ruang bersalin hendak membangunkanku. Dia langsung memberitahuku kalau proses persalinan akan segera dilakukan. Aku pun bergegas ke ruang bersalin.
Aku berusaha menguasai diri. Disamping saat itu aku sedang refluks parah dengan beragam sensasi, aku sebetulnya tidak kuat melihat darah. Jangankan melihat istri melahirkan, menjenguk teman habis kecelakaan saja membuatku hampir pingsan. Tapi mau bagaimana lagi? Aku satu-satunya keluarga Ayi yang ada di sana. Aku harus kuat. Aku alihkan perhatian untuk membelai Ayi dan memgambilkan minum untuknya agar tidak mual karena melihat atau mencium bau darah.
Setelah lima kali kontraksi kalau tidak salah, akhirnya lahirlah Hada. Di saat itulah, Ayi menjerit hampir tidak sadarkan diri. Namun, dia segera dapat menguasai dirinya lagi. Aku hampir menagis haru dan lega saat itu. Tak berapa lama kemudian, Hada ditaruh di atas dada Ayi. Dia menangis seperti umumnya bayi baru lahir.
Setelah proses persalinan selesai, kami kembali ke kamar. Hada diletakkan di dalam sebuah box. Aku pandangi lekat-lekat wajahnya. Entah kenapa saat itu rasanya aku pengen segera menggendongnya. Padahal! Waktu lahirnya si K, aku baru berani menggendong setelah dia bisa mengangkat kepala sendiri.
“Para bidan itu saja berani menggendong masak aku tidak?” Rasa gengsi itu mendorongku untuk memberanikan diri menggendong Hada. Aku berlasan sudah waktunya disusui. Aku kemudian mengangkatnya dari box, aku gendong sebentar, baru kuberikan pada Ayi untuk disusui.
Selamat datang, anakku. Selamat datang, Muhammad Hada Nurusshofa (محمد هدى نور الصفى).

Leave a Reply