Semalam, sepulang dari Boyolali hati ini terasa gundah. Entah apa sebabnya, aku juga tidak tahu. Tanpa melihat jam, aku ajak istriku, +Mustika Ungu untuk ke rumahnya Kyai untuk bertemu dengannya. Tak ada firasat apa-apa, tak ada praduga apa-apa, rasa ingin bertemu dengan Yai sangat kuat.
Setibanya di rumah Yai, istri berkata, “kok gak nunggu Isya sekalian?”
Aku kaget, ternyata belum isya. Aku kira sudah sekitar jam 8. Lalu aku bilang pada istriku untuk sholah berjamaah dengan Yai saja. Yai menemui kami, berbincang sebentar lalu mengimami sholat Isya.
Usai sholat isya’ perbincangan pun dilanjutkan. Yai berusaha memberi arahan, bimbingan, dan semangat kepada kami. Katanya, wajar kalau oarang berumah tangga itu mendapat ujian. Kemudian, Yai menceritakan masa awal pernikahannya dengan bu Nyai dulu, cobaannya lebih berat.
Beberapa saat kemudian, Anakanya Yai, mas Syukron menyuguhkan minuman untuk kami. Aku kaget, kenapa mas Syukron? biasanya bu Nyai yang menjamu kami. Hatiku bertanya-tanya, apa bu nyai sedang marah dengan kami atau bu nyai sakit. Banyak praduga yang muncul.
Hampir satu jam berbincang dengan Yai, bu nyai keluar dengan senyum yang menyejukkan hati. Aku salami beliau. Bu Nyai sudah seperti ibu kandungku, beliau membimbing kami dengan sepenuh hati sebagaimana membimbing anak-anak kandungnya.
Yai memberikan saran pada kami untuk menemui seseorang, di sana akan diajari mengenai percetakan untuk dibuat usaha yang bisa dikerjakan di rumah. Aku kaget, kenapa saran yai persis seperti yang aku pikirkan? Awalnya memang aku ingin membuat percetakan, ke rumah yai ingin mendapat arahan, selain mengobati rinduku padanya. Ternyata belum sampai di minta sudah diberi arahan. Masya Allah. Rindu pada Yai itu ternyata membawa rejeki. 🙂