A. Hadits Menurut Bahasa (Lughat)
Hadits menurut bahasa memiliki beberapa arti antaralain:
1. Baru
Hadits berarti jadid, lawan dari qadim yang artinya adalah baru. (Hasbi, 1980: 20)
Hadits bersifat jadid karena hadits ini disandarkan pada Nabi yang menjadi lawannya al-Qur’an yang bersifat Qadim. Alas pikir yang dipakai adalah aliran yang meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah. Karena Allah itu Qadim, maka al-Qur’an ikut Qadim. (Zuhri, 1997: 2)
Dalam surat Al-Kahfi ayat 6 Allah berfirman:
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا
Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).
Dalam Surat Ad-dhuha ayat 11 Allah berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.
2. Dekat
Hadits berarti Qarib, yang berarti dekat yang belum lama lagi terjadi, seperti dalam perkataan ‘haditsul ahdi bi’l islam’ yang artinya orang yang baru memeluk agama islam. (Hasbi, 1980: 20)
3. Warta
Dalam al-Qur’an Qs At-Thur ayat 34, Allah SWT Berfirman:
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.
Dalam ayat tersebut, hadits memiliki makna sebagai sebuah khabar/ berita.
Rosulullah SAW juga telah mempergunakan lafadz hadits dengan arti ‘khabar yang datang dari beliau’ dalam sabdanya:
يُو سِكُ اَحَدُ كُمْ اَنْ يَقُوْ لُ هَذَاكِتَبُ ا للهِ مَاوَجَدَ نَا فِيــهِ مِنْ حَلَالٍ اِسْتَحْلَلْنَا هُ وَمَاوَ جَدْنَا فِيْهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَ مْنَا هُاَلَا مَنْ بَلَغَهُ عَنِّى حَـــدِ يْثٌ فَكَذَّ بَ بَهَ فَقَدْ كَذَّبَ بِهِ ثَلَاثَةَ,اللهُ وَرَسُوْ لُهُ, وَا لَّذِى حَدَّ ثَ بِه
“Hampir-hampir akan ada seseorang diantara kamu yang akan berkata:’ini Kitabullah. Apa yang halal di dalamnya, kami halalkan. Apa yang haram di dalamnya kami haramkan. Ketahuilah, barang siapa yang sampai kepadanya sesuatu ‘hadits’ khibar daripadaku, lalu dia didustakan, berarti dia telah mendustakan tiga orang: dia mendustakan Allah, dia mendustakan Rasul-Nya, dia mendustakan orang yang menyampaikan hadits itu.” (HR Ahmad dan Ad Darimy) (Hasbi, 1980: 22)
B. Ta’rif Hadist
1. Ta’rif Al-Hadits yang terbatas
Menurut jumhur al-Muhaditsin, ialah:
مَاأُ ضِيْفَ لِلنَّبِىِّ صَلَّى ا للهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَوْ لًا أ وَ فِعْلًا أوْ تَقْرِ يْـرًا أوْ نَحْوَ هَا.
“adalah sesuatu yang disandarkan oleh nabi Muhammad SAW baik berupa perrkataan, perbuatan, pernyataan atau taqrir dan sebagainya”.
Ta’rif ini mengandung empat unsur yakni perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad SAW yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada beliau saja, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada sahabat dan tidak pula kepada tabi’in.
Pemberitaan terhadap hal-hal tersebut yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw., disebut berita yang marfu’, yang disandarkan kepada sahabat disebut berita mauquf dan yang disandarkan kepada Tabi’iy disebut maqthu’.
a. Perkataan
Yang dimaksud dengan perkataan nabi Muhammad SAW ialah perkataan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang, seperti bidang hukum atau syari’at, akhlak, aqidah, pendidikan dan sebagainya.
Sebagai contoh perkataan beliau yang mengandung hukum syari’at.
إنَّمَااْلأَ عْمَالُ بِا لنِّيَّا تِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىٍ مَا نَوىَ.
“Bahwasanya amal-amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh apa yang ia niatkan…. dan seterusnya”. (HR. Bukhari-Muslim)
Hukum yang terkandung dalam sabda nabi tersebut ialah kewajiban niat dalam segala amal perbuatan untuk mendapat pengakuan sah dari syara’.
Contoh sabda Nabi mengandung akhlak:
ثَلَا ثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ الْإِيْمَانَ:اَلْإِ نْصَا فُ مِنْ نَفْسِهِ,وَبَذْلُ السَّلَامِ لِلْعَالَمِ,وَالْإِنْفَاقُ مِنَ اْلإِ فْتِقَا رِ.
“(Perhatikan) tiga hal: Barang siapa yang sanggup mengimpunnya, niscaya akan mencakup iman yang sempurna. Yakni (1) Jujur terhadap diri sendiri, (2) Mengucapkan salam perdamaian kepada seluruh dunia (3) Mendermakan apa yang menjadi kebutuhan umum”. (Riwayat Bukhori)
Sabda nabi tersebut menganjurkan seseorang berakhlak luhur, berkesadaran tinggi, cinta perdamaian dan dermawan.
b. Perbuatan
Perbuatan Nabi Muhammad SAW merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syariat yang belum jelas cara pelaksanaannya.
Misalnya cara sembahyang dan cara menghadap kiblat dalam sembahyang sunnah diatas kendaraan yang sedang berjalan, telah dipraktikan.
Nabi dengan perbuatanbeliau dihadapan para sahabat.
Perbuatan beliau dalam misal yang terkhir, dapat kita ketahui berdasarkan beruta sahabat Jabir R A katanya :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلْعَمْ :يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَ جَّهَتْ بِهِ,فَإِذَاأَرَادَ الْفَرِ يْضَةَ نَزَ لَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ.
“Konon Rasulullah SAW bersembayang di atas kendaraan (dengan menghadap kiblat) menurut kendaraan itu menhadap. Apabila beliau hendak sembahyang fardhu, beliau turun sebentar, terus menghadap kiblat”. (Riwayat Bukhori)
c. Taqrir
Arti taqrir Nabi, ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat dihadapan beliau.
Contoh taqrir Nabi Muhammad SAW tentang perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapanya, ialah tindakan salah seorang sahabat yang bernama Khalid bin Walid dlam menyajikan jamuan makan ia menyajikan masakan daging biawak dan mempersilahkan kepada Nabi untuk menikmati bersama para undangan. Beliau menjawab :
(لَا,وَلكِنْ لَمْ يَكُنْ بِإَرْ ضِ قَوْمِىْ,فَأَ جِدُ نِى أعَا فُهُ!)قَالَ خَالِدُ:فَاجْتَزَزْتُهُ, وَرَ سُوْ لُ اللهِ صَلْعَمْ يَنْظُرُ إِ لَىَّ.
“Tidak (maaf), berhubung binatang ini tidak terdapat dikampung kaumku aku jijik padanya.”
Kata Khalid :”segera aku memotongnya dan memakannya sedangkan Rasulullah SAW melihat kepadaku.” (Riwayat Bukhori-Muslim)
Tindakan Khalid dan para sahabat yang pada menikmati daging biawak tersebut disaksikan oleh Nabi, dan beliau tidak menyanggahnya. Keengganan beliau tidak memakannya disebabkan karena jijik.
d. Sifat-sifat, keadaan-keadaan, dan Himmah (Hasrat) Rasulullah SAW.
Sifat-sifat, keadaan-keadaan dan Cita-cita beliau yang termasuk unsur al hadist ialah :
1) sifat-sifat beliau yang dilukiskan oleh para sahabat dan ahli Thoriq, seperti sifat-sifat dan bentuk jasmaniah beliau dilukiskan oleh sahabat Annas r.a. sebagai berikut ;
كَانَ رُ سُوْلُ الله صلعم أَحْسَنَ النَّا سِ وَ جْهًا وَ أَ حْسَنَهُمْ خَلْقًا لَيْسَ بِا لطَّوِ يْلِ وَ لَا بِا لْقَصِيْرِ.
“Rasulullah itu adalah sebaik-baki manusia mengenai paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek”. (Riwayat Bukhori-Muslim)
2) Silsilah, Nama-nama dan tahun kelahiran yang telah ditetapkan oleh para sahabat dan ahli thoriq.
Contoh mengenai tahun kelahiran beliau seperyti apa yang dikatakan
oleh Qais bin Mahramah R.A ujarnya :
وَ لُدْ تُأَ نَا وَ رَ سُوْلِ اللهِ صَلْعَمْ عَا مَ ا لْفِيْلِ.
“Aku dan Rasulullah SAW. Dilahirkan pada tahun gajah”.
3) Himmsh (hasrat) beliau yang belum sempat direalisis.
Misalnya hasrat beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 asyuro, sepeti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘abbas ra ujarnya:
لَمَّا صَا مَ رَسُوْ لُ اللهِ صلعم يَوْ مَ عَا شُوْ رَا ءَ وَأَ مَرَبَصِيَا مِهِ. قَا لُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ, اِ نَّهُ يَوْ مَ يُعَظِّمُهُ الْيَهُوْ دُ وَالنَّصَا رَى فَقَا لَ:فَاِ ذَا كاَ نَ عَا مُ الْمُقْبِلِ اِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّا سِعَ.
“Dikala Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyuro dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata ; “ ya Rasululllah bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh orang yahudi dan nasrani” sahut Rasulullah : “tahun yang akan datang, InsyaAllah aku akan berpuasa tanggal sembilan”. (Riwayat Muslim dan Abu dawud)
Tetapi Rasulullah tidak menjalankan puasa karena beliau telah wafat.
Menurut Imam Syafi’i dkk, bahwa menjalankan himmah itu disunatkan, karena ia termasuk salah satu bagian sunnah, yakni: sunnah hammiyah.
2. Ta’rif Al-Hadits yang luas
Sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian Muhadditsin, tidak hanya mencakup sesuatu yang dimarfu’kan kepada Nabi Muhammad saja, tetapi juga perkataan, perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’i-pun disebut Al-Hadits. Dengan demikian Al Hadits menurut ta’rif ini, meliputi segala berita yang marfu’ mauquf (disandarkan kepada sahabat) dan maqthu’ (disandarkan kepada tabi’i) sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Mahfudh:
إِنَّ اْلحَدِيْثَ لَا يَخْتَصُّ بِا لْمَرْ فُوْعِ إِلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, بَلْ جَاءَ بِإِطْلَاقِهِ أَيْضًا لِلْمَوْقُوْفِ (وَهُوَ مَا أُضِيْفَ إلَى الصَّحَابِى مِنْ قَوْلِ وَنَحْوِهِ) وَالْمَقْطُوْعِ (وَهُوَ مَا أُضِيْفَ لِلتَّابِعِىِّ كَذَ لِكَ)
“ Sesungguhnya hadits itu bukan hanya yang dimarfu’kan kepada Nabi s.a.w. saja, melainkan dapat pula disebutkan pada apa yang “mauquf” (dihubungkan dengan perkataan, dan sebagainya dari sahabat), dan apa yang “maqthu’” (dihubungkan dengan perkataan dan sebagainya dari tabi’i)”
3. Pengertian Hadist dari berbagai pendapat
a. Menurut ahli hadist
Hadist adalah segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya. Yang dimaksud dengan hal ihwal adalah segala yang diriwayatkan Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya.
b. Sebagian muhadditsin berpendapat bahwa hadist mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi SAW (hadist marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadist mauquf) dan tabi’in (hadist maqtu’).
Ulama ushul memberikan pengertian, hadist adalah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu semua, tidak bisa dikatakan sebagai hasit. Ahi ushul fiqh membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan manusia biasa. Yang dikatakan hadist adalah sesuatu yang bekaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Muhammad SAW sebagai Rasulullah yaitu harus berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadist.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1980. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang
Zuhri, Muh. 1997. Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana
Sahrowi, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia
Rahman, Fatchur. 1982. Musthala’ul-Hadits. Bandung: Al-Ma’arif.
Like this:
Like Loading...