Foto pelangi yang menampakkan diri di langit Salatiga membuatku terkesiap. Foto yang diupload oleh seorang tetangga kampung sukses membuatku berlarian keluar rumah. Nihil, langit sudah kembali abu, tak ada pendar pelangi sedikitpun.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Pagi itu aku tak menyaksikan pelangi meski hanya sekejap. Tidak. Saat aku bertanya kapan dia mengambil foto pelangi, aku kembali beristighfar, waktunya tak berselang lama ketika aku keluar rumah. Aku ingat, saat aku berlari ke kamar mandi, langit pagi menampakkan jingga yang tak biasa.
Robbuna, ini yang kedua kalinya.
Beberapa hari yang lalu aku mengalami kekecewaan yang sama saat mbak Kuni mengupload foto pelangi. Padahal belakangan ini aku selalu keluar rumah ketika hujan turun dan matahari bersinar. Aku mengamati hari, melihat pertanda alam, kalau-kalau pelangi muncul.
Cantik, sekejap, tetapi maknanya selalu terbawa dalam hatiku.
Aku tak ingat sejak kapan aku mengagumi pelangi. Menantinya saat musim hujan tiba. Membincangnya bersama teman-teman. Saking kagumnya dengan pelangi, sebagian besar temanku mengira bahwa itu adalah sebutan untuk seseorang yang istimewa dalam hidupku.
Aku merenung. Beberapa hari ini aku mempunyai keinginan yang sangat kuat, sampai-sampai terkesan memaksa Robbuna saat berdoa. Keinginan untuk berjumpa dengan orang-orang terdekat. Berbincang dengan mereka. Menikmati waktu bersama. Namun kesibukan dan peran yang harus dijalani mengharuskan keinginan itu tertunda. Aku menangis malam-malam. Berdoa meminta obat kepada Robbuna.
Pagi itu, Robbuna memberiku obat yang sangat manjur.
Bukan berupa pelangi yang selama ini sangat kunantikan, tetapi justru ketidakberjumpaan dengan pelangi.
Bayangkan saja, pelangi itu sangat dekat. Aku hanya perlu menengadahkan kepala pada saat yang tepat. Dua kali, di langit yang sama. Namun aku tak menjumpai, meski hanya sepercik pendarnya.
Robbuna membuatku alpa ketika alam menampakkan tanda-tanda munculnya pelangi pagi berupa pendar jingga dan rintik-rintik hujan. Robbuna mengharuskan aku berada di kamar mandi ketika pelangi menampakkan diri. Padahal selama ini aku selalu mengamati alam ketika hujan turun bersama mentari.
Astaghfirullahal’adziim.
Meskipun keinginan itu begitu menggebu. Sedetail apapun perencanaan. Sengotot apapun memohon. Jika Allah tidak Menghendaki, hal satu itu tak akan terjadi.
Aku merinding seketika.
Allah memberiku obat di awal bulan sya’ban atas kesakitan-kesakitan karena kerakusan keinginan. Allah mencubitku. Sungguh, Allah punya cara sendiri untuk menegurku yang dikit-dikit alpa.
Seringkali manusia merencanakan semuanya, sedetil-detilnya, berdoa memaksa, namun lupa satu hal: Allah punya rencana terbaik.
Aku ingat kejadian awal Januari lalu. Pengajuan beasiswaku terancam gagal gara-gara buku tabunganku hilang. ingin membuka rekening lagi, tak ada uang untuk mendaftar. Minimal butuh uang delapan puluh ribu. Panik. Akhirnya aku mengobrak-abrik seisi kamar, sampai-sampai berkas-berkas yang sudah kumusiumkan satu tahun ini kubongkar kembali. Tak ketinggalan kasur ikut kubongkar termasuk kayu-kayu penyusun ranjang, berharap buku mungil itu keslempit di sana.
Nihil.
Buku mungil itu tak juga menampakkan diri. Aku membereskan kamar yang berantakan dengan lemas. Slide-slide saat mengurus berkas-berkas beasiswa yang melelahkan terpampang jelas. Sepertinya aku harus menggagalkan rencana untuk mengajukan beasiswa. Berkas-berkas yang sudah ditandatangani harus kumusiumkan bersama berkas lain di rak khusus kertas-kertas fotokopian.
Kekecewaan semakin terasa saat pengumuman tiba. Semua teman sekelas yang mengajukan beasiswa diterima. Aku menghibur diri dengan doa-doa; barangkali Allah menyiapkan yang lebih baik untukku. Pintu rejeki bukan hanya dari beasiswa.
“Widi, daftar beasiswa nggak?” seorang teman mengusik keasyikanku mengerjakan tugas pada awal Mei.
Beasiswa? Aku segera mencari info beasiswa di kampus. Mengurus berkasnya sembari berdoa. Beristighfar terus-menerus mengingat su’udzon yang kelewatan. Allah menunjukkan kepadaku betapa rencana-Nya yang terbaik. Akhir Mei berita keren itu datang. Pengajuan beasiswaku diterima.
“Tuh, Nduk, Allah ngilangin buku tabunganmu dulu karena kamu bakal dapat beasiswa yang lebih baik.” Kata-kata ibu membuatku semakin merinding.
Entah, ini keberapa kalinya Allah menunjukkan kepadaku. Sebanyak itu Allah menunjukkan keagungan-Nya, sebanyak itu pula aku bandel, ngadu lagi, protes lagi. Bahkan semakin menjadi-jadi.
Dulu aku ngotot minta kuliah di sebuah universitas ternama. Drop berbilang bulan hanya gara-gara tidak keturutan untuk kuliah di universitas itu. Meng-kambing hitamkan telinga sebagai penyebab gagalnya kuliah disana. Kesulitan untuk move on karena teringat dengan hari-hari yang kulewati dengan mengerjakan latihan SNMPTN dari buku setebal bantal.
Sekarang aku menyadari, bahwa Allah menginginkan aku menjalani jalan yang membuatku semakin mengenal-Nya.
Allah menunjukkan kepadaku betapa rencana-Nya akan membuat hati siapapun bergetar mengagungkan-Nya. Ya, ternyata disini justru aku meniti mimpi-mimpiku yang lebih besar. Disini aku menikmati mimpi-mimpi yang laiin. Bertemu dengan orang-orang yang membersamaiku untuk selalu mendekat kepada-Nya.
Nikmat apa yang lebih besar dari ini? Bukankah banyak orang yang lupa dengan-Nya dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk kembali mengenal-Nya? Bahkan tak sedikit yang tak diberi kesempatan untuk bertaubat.
Pagi itu aku menulis di update facebook, sebuah pengingat jika kelak aku kembali kilaf.
Jika Allah belum berkenan, mau sengotot apapun, mau seingin apapun, mau sedetail apapun mengamati, keinginan untuk menjumpainya tak akan terpenuhi. Pagi ini belum diberi kesempatan untuk melihat pelangi. Allah, sungguh, Engkau punya cara sendiri untuk mengingatkan aku yang dikit-dikit alpa. #kangen pelangi
Robbuna lah yang tahu apa-apa yang terbaik.
Bahkan, suatu saat kita bersyukur karena keinginan yang tak terpenuhi.
Seperti aku yang bersyukur karena tidak kuliah di universitas ternama itu, sebab kini aku bisa menikmati hari-hariku bersama orang-orang tercinta. Menikmati untuk selalu mendekat kepada-Nya.
Selaksa Puji bagi-Mu, ya Robb.