Aku adalah murid yang paling dekil dan bodoh saat kelas 3 SD. Nilai Matematika dua koma, jangan tanya bagaimana dengan pelajaran yang lain, mirip-mirip kursi terbalik. Kala itu, pengaturan tempat duduk berdasarkan nomor absen. Sebagai pemilik absen paling buntut, aku duduk di bangku paling pojok belakang.
Pojok belakang terjauh dari meja guru. Bangku pojok belakang adalah neraka bagi seorang Hard of Hearing sepertiku. Hari-hariku di sekolah cuma bingung, nyaris setiap menit aku mengusik teman sebangku, “Pak Guru nyuruh apa, sih?”
Jangan tanya apakah aku bisa menyimak pelajaran. Boro-boro nyimak, ‘baca’ mulutnya pak Guru saja aku enggak bisa. Bisa dibilang kala itu aku cuma setor muka. Aku tidak tahu, apakah pak Guru sama sekali tidak tahu tentang telingaku yang istimewa, ataukah sebenarnya tahu tetapi tidak peduli.
Lagipula, itu sudah berlalu. Aku tidak akan bercerita tentang pak Guru di kelas tiga, sebab itu hanya membuatku menuang air garam ke dalam luka yang sudah kusembunyikan dalam lorong waktu. Aku akan menceritakan kepada kalian, sesosok guru yang menjadi hujan setelah kemarau panjang.
Pensiun yang Tertunda dan Murid Berkebutuhan Khusus
Aku memanggilnya pak Tondo. Masih terhitung saudara jauh, entah dari jalur mana. Pak Tondo sudah memasuki usia pensiun kala itu, tetapi karena belum ada guru pengganti yang menggantikan beliau, sekolah meminta beliau tetap mengajar di sekolah.
Entah apa yang ada di benak beliau dulu, sudahlah ditunda pensiunnya, di kelas ketemu anak berkebetuhan khusus dengan nilai yang na’udzubillah.
“Utami, duduk di sini. Di depan Bapak.” seru pak Tondo, ketika mendapatiku duduk di bangku bagian tengah. Disambut suara ‘yes!’ dari teman yang disuruh pindah oleh Pak Tondo. Jadilah aku duduk di depan meja guru persis, tempat duduk yang menjadi neraka bagi kebanykan murid, apalagi kalau gurunya tipe main tangan, tempat duduk persis di depan guru adalah tempat strategis untuk menggebrak pakai penggaris panjang.
Tunas yang Tumbuh Setelah Kemarau Panjang
Kamu tahu bunga Zephyranthes Rosea? Ehmm. Lili Hujan? Bunga bawang-bawangan? Aku merasa, sejak di bangku kelas empat, tunas-tunas otakku mulai tumbuh setelah setahun sebelumnya kering-kerontang dan nyaris kehilangan nyawa untuk sekolah.
“Ada yang masih bingung?” tanya pak Tondo, berdiri di samping tempat dudukku.
Aku mengangguk pelan, cara mencari akar bilangan cukup membuat otakku panas.
Tidak kusangka, pak Tondo menjelaskan ulang kepadaku dengan sangat sabar. Di saat teman-teman yang lain sudah setor hasil pekerjaan mereka, aku masih dijelaskan oleh pak Tondo. Malu? Enggak, sebab pak Tondo tidak pernah membandingkan dengan murid yang lain. Sungguh, kata-kata, “Itu lho, si X sudah selesai.” tidak pernah keluar dari beliau.
Di menit keberapa entah, di saat aku berhasil menyelesaikan soal akar, pak Tondo berseru, “Nah! Utami bisa, kan? Bisa.”
Aku terpesona. Terpesona dengan kemampuanku sendiri, terpesona dengan senyum beliau yang mengembang. Hei, aku yang berulangkali dituding budheg, ternyata bisa membuat guruku tersenyum. Saat itulah, tunas-tunas percaya diriku mulai tumbuh. Gairah belajar melesak, aku tertantang untuk menyelesaikan soal-soal yang lain.
Utami kecil yang budheg itu, mulai merangkak, menyusun kembali mimpi-mimpinya yang nyaris tenggelam. Aku bukan pemuja rangking, tetapi tidak bisa memungkiri jika rangking empat yang bertengger di rapor kelas empat menjadi salah satu kebanggan yang memunculkan rasa percaya diri bahwa aku bisa seperti teman-teman Dengar, meskipun pendengaranku sangat terbatas dan sering diolok-olok loading lama.
Satu tahun bersama pak Tondo terasa begitu singkat. Mungkin, akulah murid yang paling nelangsa ketika pak Tondo resmi pensiun dan berhenti mengajar. Tanpa beliau sadari, pendampingan pak Tondo selama setahun adalah saat-saat aku membangun pijakan percaya diri juga pijakan pantang menyerah, yang masih sangat bermanfaat sampai sekarang.
Hiks-hiks, aku nangis.
Ternyata, Pak Tondo Masih Mengingatku di Hari Tuanya, juga Kilasan Tingkahku saat Di Kelas
Terakhir berkunjung ke rumah beliau adalah empat tahun yag lalu. Sebelum menikah, pak Tondo adalah salah satu daftar wajib kunjungan kala lebaran. Setelah menikah aku belum mengunjungi rumah beliau lagi karena sempitnya waktu, kepepet akan mudik sowan ke kampung halaman.
Saat berkunjung ke rumah beliau, beliau selalu bercerita tentang kilasan-kilasan saat aku berada di kelas. Cerita-cerita yang membuatku malu, padahal dalam hati aku bangga karena beliau masih mengingatku, lengkap dengan kilasan saat di kelas belasan tahun yang lalu. Saat aku ganti bercerita tentang aktivitas sekolahku, aktivitas kuliahku, senyum beliau mengembang, dengan kucuran doa-doa yang indah. Gusti, gerimis hatiku, kumohon, Muliakan guruku.
Dear, Bapak.
Entah Bapak akan membaca atau tidak, terimakasih atas waktu dan cinta yang kauberi belasan tahun yang lalu. Semangat untuk berbenah dan belajar yang kudapat dari Bapak, masih kupakai sampai sekarang.
Terimakasih telah membantu menemukan harta karunku.
Daftar Isi
***
Fiuuuhhh, melow parah. Pagi ini aku menangis mengingat beliau. Masih banyak orang-orang yang sangat berkesan dalam hidupku, mungkin aku akan menuliskannya lain kali. Terimakasih #BloggerKAH, mbak Arin dan mbak Rani yang membuatku menulis blogpost ini.
Teruslah berbuat baik. kadangkala tanpa disangka, kebaikan-kebaikan yang bagi kita receh sangat berharga di kehidupan orang lain.
Oh iya, jangan lupa baca cerita mbak Rani Kejutan di Balik Kebaikan Kecil dan mbak Arin Mengenang Kebaikan Orang Lain, Agar Aku Selalu Ingat, Aku Sangat Beruntung ya. Sampai jumpa lagi di kollab bulan depan. 😀
Ish aku kok melu mbrambang mili ya.. Semoga kesejahteraan dan kesehatan selalu melingkupi beliau, juga semoga amalan shodaqohnya bisa membawanya memiliki bahagia dunia akhirat.
Masya Allah, barokallah untuk Pak Tondo. Insya Allah pahala mengalir, karena ilmu yang beliau tularkan ke Mbak Widut, sudah jelas tidak berhenti di Mbak Widut saja.
Mbak, aku merinding, pengen nangis juga.. Semoga beliau sehat selalu, aamiin YRA..
Betewe, dulu aku punya pohon kayak gitu Mbak. Aku bilang bawang-bawangan sih.. kalo pas musim hujan, taman depan rumahku jadi penuh warna ungu. Warna kesukaanmu, kan?