Renungan | Hilangnya Warisan Budaya Bangsa Indonesia

BorobudurSudah nonton "Chinese Zodiac" yang dibintangi Jackie Chan? Jika iya, film ini sebagaimana film lain yang dibintangi Jackie Chan, selalu menyelipkan pesan nasionalistik dan perlawanan terselubung terhadap narasi Barat-Eropa. Saya tak hendak mengulas narasi cerita yang memang bagus serta dibarengi adegan konyol artistik ala Jackie Chan. Intinya, JC dan teman-temannya berusaha mengembalikan harta karun peninggalan kekaisaran Tiongkok berupa artefak, lukisan, arca perunggu, dlsb, yang dulunya dirampok Barat dan diperjualbelikan di balai lelang dengan harga jutaan dollar.

Menonton film ini mempertautkan ingatan saya dengan "nasib" Indonesia. Intinya, ada kesamaan antara Tiongkok dan Indonesia. Dua negara besar ini pernah menjadi obyek jajahan bangsa Barat (+ Jepang). Penjajah datang, mengadu domba anak bangsa, sambil menguras kekayaan alam. Yang dilakukan penjajah, dimanapun sama: menggempur benteng, memporakporandakan istana, menguras isi perbendaharaan pusaka, lalu menjarah semua isi (per) pustaka(an). Hasilnya diangkut ke negaranya masing-masing. Jika berupa benda akan dibeli kolektor benda antik, jika berupa pustaka bakal diotak-atik cendekiawan lalu dipakai sebagai narasi penjajahan mental psikologis, lazimnya tugas orientalis.

Saat Belanda menyerbu Kesultanan Gowa, Banten, Riau, Pontianak, Maluku, dlsb, serdadu kalap bakal beringas merampok perbendaharaan pusaka dan harta keraton. Serdadu (yang sedikit) intelek mendatangi perpustakaan keraton (biasanya berisi manuskrip berbahasa daerah setempat, berbahasa Melayu, Sanskerta, dan Arab), dan dengan menggunakan puluhan bahkan ratusan peti, mereka mengangut isi perpustakaan. Perampok edan!

Saat menyerbu Keraton Yogyakarta, 1812, Rafles menguras isi perpustakaan. Sehingga beberapa tahun silam Sri Sultan Hamengkubuwono IX berkirim surat ke Ratu Elizabeth agar mengembalikan manuskrip-manuskrip milik kakek moyangnya yang dirampok serdadu Inggris. Entah, hasilnya bagaimana.

Selain itu, naskah-naskah pesantren, dengan berbagai bahasa, juga diangkut secara besar-besaran oleh Snouck Hurgronje, selama masa dinasnya di Jawa. Naskah hasil "sitaan" dari para kiai, haji, dan mereka yang terindikasi sebagai "pemberontak". (Jika kita baca buku "Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936", kita bisa melihat karakteristik tulisan Snouck yang lebih mirip reportase intelijen daripada laporan administrasi!)

Baik Belanda maupun Inggris juga mencuri artefak, arca, dan benda antik peninggalan Singhasari dan Majapahit, bahkan mengangkut patung Buddha paling eksotis di Borobudur dan menghadiahkannya kepada Raja Thailand (yang kemudian dikembalikan lagi ke Pemerintah RI oleh Raja Bhumibol Adulyadej).

Hingga saat ini, keberadaan harta berharta warisan peradaban masa lalu Tiongkok, Mesir, Arab, India, dan Nusantara justru tidak dimiliki anak cucunya. Semua benda berharga ini malah disimpan di museum para perampok: di Amerika, Inggris, Perancis dan Belanda. Sisanya beredar dari satu kolektor ke kolektor lain melalu mekanisme Balai Lelang yang didominasi bule tajir.

Jadi, untuk menapaktilasi kehebatan peradaban masa lampau, kita harus ke Leiden, London, Paris, dan Washington. Hmmmmm, bahkan untuk melihat lontar I Lagaligo, mahkota Raden Fatah, membaca Serat Bonang, menikmati Otobiografi Diponegoro, dan mengamati eksotisme-realis lukisan Raden Saleh, serta mempelajari ribuan manuskrip bukti kemajuan intelektual, semua dalam bentuk orisinil, kita harus ke Leiden Belanda dulu.

Jadi, terasa miris dan ironis juga saat anak cucu harus terbang ribuan kilometer untuk memepelajari dan menikmati warisan tak ternilai, justru di rumah perampok dan penjarah rumah leluhurnya.

 

Sumber Tulisan   : https://www.facebook.com/avisaaurora.baldatina/posts/152662201577341

Sumber Gambar  : http://www.kesimpulan.com/2009/08/candi-borobudur-contoh-salah-urus.html

                               Diakses pada 19 April 2013

Leave a Reply