Si K baru genap empat tahun. Minatnya di bidang matematika tergolong tinggi. Ia sudah memahami penggunaan tambah dan kurang. Mulai penasaran dengan simbol-simbol dan alat operasional matematika seperti jam, timbangan dan alat ukur panjang.
Awalnya semua terlihat baik-baik saja karena aku hanya menyediakan akses ke buku-buku yang sekiranya masih bisa dipahami si K. Hingga suatu hari…. Si K menemukan buku perkalian di pojokan. Ia riweuh minta belajar dan cerewet minta dijelaskan.
Ibunya yang sedang mabok auto mblenger.
***
Selama emaknya teller, proses belajarnya si K super kalem. Semaunya si K. Emaknya sudah enggak muluk-muluk planning a, b, c, d. Ngopeni awake dewe aja keteteran.
Justru saat dilepas gini, rasa penasaran bocah malah makin melambung. Bosan dengan buku-buku yang sudah dibaca sampe lecek, ia mencari buku-buku tersembunyi, termasuk buku matematika yang kusimpan di rak bagian ujung karena kuanggap belum waktunya.
Buku perkalian. Si K memang sudah paham ‘konsep’ perkalian, tetapi belum kukenalkan dengan simbol perkalian.
Jadinya mbundet.
“Ini kali ya, Kevin. Bukan tambah. Kalo ini tambah.”
“Nah, ini Ibuk beli donat dua bungkus. Satu bungkusnya ada dua. Jadi dua kali dua, berapa?”
“Empat.”
“Bener. Nah, ini ada kucing dua. Satu kucing melahirkan tiga. Jadi anak kucingnya berapa?”
“Lima.”
“Bukan. Kan ini anak kucing orange tiga. Anak kucing belang merah tiga. Jadi anak kucingnya ada berapa sekarang?”
“Enam.”
“Iya, jadi ini kucingnya dua. Satu kucing melahirkan tiga. Jadi kan tiga kali dua, sama dengan enam.”
Si K membalikkan halaman. Membaca notasi angka.
“1 kali 2 sama dengan dua. Kenapa bukan tiga?”
Duh Gusti. Mbalik maneh.
“Ini kali. Beda dengan tambah, Kevin.”
“Buku yang tambah mana?”
“Enggak ada. Ibuk waktu itu belinya enggak lengkap serinya. Kehabisan.”
“Aku mau beli yang tambah-tambah wae.”
“Kevin punya uang?”
“Ada di celengan biru. Buat beli buku tambah-tambah karo wayang. Wayange beli tiga belas.”
Masalahnya, Nang. Buku seri pertambahan dari penerbit ini susah bener nyarinya. Wayang? Tiga belas bijik kali tiga puluh? Aduh, elus-elus ATM.
“Wayangnya jangan tiga belas. Kurang uang di celengan.”
“Nanti minta Abah, minta Ibuk, minta Budhe, karo Mamak. Sudah empat. Uang merah kabeh. Seratus ribunya ada empat.”
Heh. Rumangsane, konsep perkalian malah dipake buat rencana minta duwit~
***
Ngajarin anak belajar di rumah terihat gampang, ya. Bahkan tidak sedikit yang meremehkan. Namun, ternyata… Mumet bin bundet. Apalagi kalau anaknya tipe-tipe yang susah diajarin ortu dan ortu tipe yang enggak sabaran ngajarin anak. Wassalam, deh.
School from home di masa pandemi membukakan hati orang tua betapa tidak mudahnya mengajar anak-anak. Tidak sedikit uneg-uneg ortu betapa beratnya belajar di rumah yang beredar di dunia maya. Dulu malah sempat beredar balas-balasan surat antara orang tua yang kesal dengan tugas seabreg dan guru yang menanggapi dengan dilema.
Masa-masa belajar di rumah sungguh bukan pilihan, baik untuk guru maupun orang tua. Belajar di rumah berangkat dari keterpaksaan untuk memutus rantai penyebaran covid-19. Guru dituntut untuk menjadi guru kreatif yang mampu menyampaikan materi apapun media dan caranya, lintas generasi dan lintas teknologi. Orang tua harus mampu legowo dan belajar bersama anak-anak.
Emak K yang mengamati proses belajar selama pandemi berlangsung sering merasa kasihan, baik kepada anak, guru maupun ortu. Sangat tidak mudah untuk mencapai kondisi ideal. Apalagi untuk anak-anak usia balita yang seharusnya diminimalisir akses ke gadgetnya.
Aku memilih untuk menunda sekolah si K selama pandemi dan memutuskan untuk mendampinginya di rumah meski tidak mudah. Semoga pandemi segera berlalu dan anak-anak bisa kembali belajar dengan ceria.