Selain karena patriarki yang masih kental, mewahnya ayah menemani anak bermain disebabkan karena ritme kerja yang panjang. Apatah lagi bagi ayah yang harus berjuang berangkat pagi pulang larut malam ketika anak sudah terlelap.
Si K seringkali rewel ingin beraktivitas dengan abahnya di saat yang kurang tepat. Ingin main bola di saat Abah K mumet dengan seabrek codingan. Ingin main kuda-kudaan di saat abah K sedang enggak enak badan. Ingin dibacakan buku di saat Abahnya sedang mengantuk. Jika sudah begini, ujung-ujungnya ya Ibu yang harus turun tangan.
Apakah Ibu bisa mengisi keinginan untuk bermain dengan Abahnya? Jelas tidak. Si K bisa saja tetap berangkat bermain bola, tetapi baru lima tendangan ia sudah ngos-ngosan dan bad mood seharian. Rewel dan serba salah. Sampai Ibunya kesel karena enggak ngerti harus bagaimana lagi.
Maka, ketika abah K mengajak bermain ke Muncul Waterpark, berencana ikut menemani si K nyebur, aku semangat menyiapkan semuanya. Handuk, baju ganti, sabun-shampo, juga bekalnya. Tidak lupa mengajak mbak Ba, Kakak Tegar, Pakdhe dan Mamak. Sekali-kali liburan keluarga.
Bermodal karcis 5k/orang, si K masuk ke kolam dengan riang gembira. Nempel melulu dengan Abah. Bermain air, berkecipuk ria. Ekspresinya riang, sorot matanya ceria.
Si K ciprat-cipratan, tertawa manakala air di tangannya berhasil membuat muka Abahnya basah. Sesekali ia meminta Abahnya berenang dan si K naik ke atas punggungnya. Lain waktu ia manja meminta Abahnya berjalan menyibak air dengan menggandeng tangan.
Sesekali si K mengeluh kedinginan, hanya karena ingin dipeluk Abahnya. Padahal setelah dipeluk Abahnya ia langsung nyebur ke kolam lagi. 😆
Bahagianya bertahan berhari-hari. Ia jauh lebih selow ketika Abahnya sibuk bekerja dan tidak bisa menemaninya bermain. Ia mulai memahami jam-jam kapan Abah sibuk dengan pekerjaan, kapan Abah bisa diajak main sebentar.
Ia bahagia ketika Abah ada untuknya dengan sepenuh cinta tanpa terdistraksi apapun, termasuk obrolan dengan Ibu. Si K sering protes ketika kami nyolong ngobrol dengan meletakkan telunjuk ke mulut sambil bilang, “Husssttt,” dengan muka mengancam. 😂
Kami menyadari jika si K dominan kinestetik-visual dan berusaha untuk memfasilitasinya dengan tidak mengabaikan stimulasi auditori. Di Kolam, kami membiarkan si K mengeksplorasi ranah visual-kinestetik-auditori sepuasnya, sampai ia meminta berhenti.
10 Hari Tantangan Gaya Belajar Anak ini, emak K mendeteksi kinestetik mendominasi, kemudian diikuti visual dan auditori. Game level ini masih kami lanjutkan dengan mengusung family project #mbolangBarengsiK dengan menambah pengamatan Gaya Belajar bocah.
Bagi emak K, gaya belajar yang lebih dominan kinestetik dan visual tidak lantas mengabaikan ranah auditori. Kami tetap menstimulasi ranah auditori dengan percakapan-percakapan, sholawatan dan nyanyian dengan bantuan Abah dan orang-orang sekitar.
Kekurangan emak K di ranah auditori tidak boleh menghambat stimulasi ranah auditori si K. Banyak jalan menuju Roma, banyak suara yang bisa dipinjam untuk stimulasi auditori anak.