Setelah menulis artikel semua orang bisa jadi wali, aku malah jadi membayangkan yang bukan-bukan. Salah satunya adalah membayangkan kehidupan sebelum terlahir ke dunia.
Begini bayanganku.
Di sana, di alam ruh sebelum dilahirkan, ruh berkumpul dengan kelompok atau gengnya masing-masing. Ruh baik berkumpul dengan ruh baik, ruh jahat berkumpul dengan ruh jahat. Mereka berkelompok sesuai jenisnya. Mereka mengenal satu sama lain.
Mereka tahu akan mendapat jatah waktu terlahir di dunia untuk menjalani ujian dari Allah. Untuk itu, mereka mengadakan pertemuan kelompok untuk rembugan. Mereka mendiskusikan strategi apa yang akan dijalankan selama tinggal di dunia. Ibaratnya seperti sekompi tentara yang sedang menyusun strategi perang agar semua anggotanya bisa kembali dengan selamat setelah menjalankan misi dengan sukses.
Salah satu materi diskusinya adalah membagi peran. Siapa yang kelak akan berperan sebagai ayah, ibu, suami, istri, anak, dan peran lainnya. Termasuk peran cadangan jika seandainya peran yang sudah diberikan itu ternyata sudah diisi oleh ruh dari kelompok lain. Misalnya ketika salah satu ruh mendapat peran sebagai suami namun ternyata dia kedahuluan ruh lain maka rencana cadangan harus dilakukan.
Rencana itu disusun dengan harapan anggota kelompok ruh itu bisa saling membantu untuk menghadapi ujian di dunia. Dengan begitu, harapannya adalah mereka bisa berkumpul lagi di alam setelah kematian.
Aku mebayangkan saat di alam ruh dulu, aku, Ayi, Kevin, dan Hada adalah anggota satu geng. Kami telah membagi peran masing-masing dengan kesadaran penuh. Saat membagi peran, tentu saja, posisi kami setara dan memiliki hak yang sama. Tidak ada yang lebih mendominasi satu sama lain.
Kemudian, aku turun ke dunia lebih dulu karena tuntutan peran. Setelah itu Ayi menyusul. Puluhan tahun kemudian barulah Kevin dan Hada ikut menyusul.
Sampai di sini, aku merasa ada kejanggalan. Ada yang salah dengan peran yang aku jalankan. Bukan masalah perannya melainkan cara menjalankan perannya.
Di sini, aku mulai berulah. Merasa lebih berhak terhadap anak. Merasa bebas menentukan masa depan anak dengan beragam ambisi. Melupakan pembagian peran serta strateginya yang telah disepakati saat di alam ruh dulu.
Aku membayangkan seandainya tiba-tiba Kevin dan Hada keluar dari perannya. Katakanlah tiba-tiba saja usia kami berubah menjadi setara kira-kira apa yang akan terjadi? Apakah mereka akan berontak karena caraku memainkan peran sebagai Ayah melewati batas. Terlalu menuntut ini dan itu. Peranku sebagai ayah membuatku lupa daratan dan merasa menjadi yang paling bertanggungjawab. Ibaratnya semacam janji manis seorang calon pemimpin yang tak ditepati setelah benar-benar terpilih karena terlena oleh kekuasaan.
Renungan-renungan seperti ini lah yang membuatku menjadi bucin pada anak. Aku tidak berani memaksa mereka untuk ini dan itu. Termasuk memaksa mereka untuk menghafal Al-Qur’an aku tidak berani. Takut nanti mereka menuntutku di pengadilannya Allah. Wong cabang ibadah itu banyak kenapa aku memaksanya untuk memilih salah satu yang menurutku paling bagus. Bagus bagiku belum tentu bagus pula baginya. Mereka, anak-anakku, memiliki kodratnya masing-masing. Memiliki misinya masing-masing. Memiliki tantangannya masing-masing.
Peran sudah dibagi jauh hari sebelum lahir. Mbok yao yang legowo menerima kenyataan mereka itu akan diuji dengan perannya itu. Siapkanlah untuk itu. Bukan yang lain-lain.