Suatu hari usai menggarap script untuk kamus Geografi www.geodik.com, kakak mengajak ngobrol tentang wacana rumah tangga. Kakak memang sangat perhatian, tidak hanya masalah yang sekiranya besar saja yang diperhatikan. Namun, masalah sepele juga diperhatikannya dengan teliti.
Kakak berkata, “ndang nyelengi! suk anakmu ben ora koyo kowe”, ‘menabunglah! biar nanti anakmu tidak seperti dirimu’. Kata kakak ini merujuk pada tabungan yang bersifat ruhaniyah atau batiniyah. Dia melanjutkan, “sing sregep poso senin – kamis, sholat sunnah dll.”, ‘yang rajin puasa senin – kamis, sholat sunnah dll.’.
Apa maksud kata kakak “menabung” itu? Kakak menjelaskan menabung untuk amal itu seperti yang dilakukan para kyai-kyai. Kyai sering tirakat agar anaknya menjadi anak yang sesuai harapannya. Kyai sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari sebelum menanam benih ke rahim istri. tarbiyah untuk anak dilakukan sejak benih belum ditanam, bahkan ketika masih belum menikah dan masih remaja.
Ketika menanam benih, tarbiyah dilakukan dengan menerapkan etika islami selama bersenggama. Ketika benih itu mulai ditanam, Kyai tak henti-hentinya memberi tarbiyah ruhaniyah dengan dzikir, wirid, bacaan qur’an dan amal sholeh lainnya. Setelah anak lahir, tarbiyah secara lahiriyah dan ruhaniyah diberikan secara bersamaan.
Kakak berkata, “sifatmu iku, suk nurun nang anakmu”, ‘sifatmu itu nanti akan menurun pada anakmu’, kakak melanjutkan perkataannya, “makanya, mulai dari sekarang rubah sifat-sifat dan perilaku burukmu agar tidak terwariskan pada anakmu”.
“Sekarang, ibarat menyiapkan lahan sebelum kau tanami benih, jadi berusahalah sebaik mungkin untuk menjaga perilaku agar tidak terekam dan di copy-paste ke dalam diri anakmu”.
Begitulah nasehat kakak pada hari itu. Sungguh luar biasa dahsyatnya.