Aku sebetulnya tidak pernah membayangkan akan menggunakan jasa Pekerja Rumah Tangga (PRT) untuk menangani beberapa urusan rumah. Aku pikir pekerjaan rumah akan mudah diselesaikan jika kami mampu bekerjasama dengan baik. Tidak perlu sampai menyewa jasa PRT.
Daftar Isi
Kami sempat membuat jadwal untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, memasak, membuat jus sayur, dan lain sebagainya. Kami bergantian menjadi pennggung jawab atas masing-masing pekerjaan itu sesuai jadwal yang telah disepakati.
Aku merasa terhormat dan keren jika bisa menyelesaikan pekerjaan rumah itu sekaligus menyelesaikan pekerjaan kantor yaitu ngoding. Hanya saja, ternyata, aku hanya mampu istiqomah beberapa hari saja. Banyak hal yang membuat pekerjaan rumah itu terasa berat untuk dilakukan. Terutama ketika habis dari luar kota. Bawaannya males banget untuk nyentuh gawean rumah. Pengennya langsung cepat-cepat ngoding saja.
Setelah melewati perenungan dan diskusi panjang akhirnya kami memutuskan untuk menyewa jasa PRT. Waktu itu, aku bilang pada Ayi akan mengalokasikan 1,5 juta rupiah setiap bulan untuk sewa PRT yang akan diberi tanggung jawab untuk mencuci, membersihkan rumah, dan memasak. Waktu kerja dari pagi sampai sore saja.
Ternyata rencana kami tidak sepenuhnya berhasil karena suatu alasan. Singkat cerita pekerjaan rumah kami yang didelegasikan pada orang lain hanyalah dua saja yaitu mencuci baju dan momong Hada selama setengah hari. Sisanya dhandel Ayi.
Aku sempat marah pada Ayi. Aku sudah bilang padanya untuk mencari orang yang benar-benar profesional. Hubungan kerja yang aku inginkan benar-benar antar pekerja dengan pemberi kerja. Bukan didasari belas kasihan karena ada ikatan saudara. “Aku capek kalau baper-baperan terus. Malah gak sido kerjo. Onone gur emosi tok.” kataku pada Ayi. Namun, Ayi bersikeras dengan keputusannya. Aku ngikut saja kalau sudah begitu.
Aku memiliki banyak alasan kuat mengapa pekerjaan rumah itu sebaiknya tidak dikerjakan Ayi sendiri melainkan didelegasikan pada orang lain saja. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Bukan Kewajiban Istri
Aku mengikuti pendapat Imam Nawawi yang mengakatakn bahwa menyapu, memasak, dan mencuci bukanlah kewajiban istri sebagaimana yang tertulis pada Rauḍatu al-Ṭālibīn sebagai berikut:
“Adapun memasak, menyapu dan mencuci maka semua itu tidak wajib bagi istri.” (Rauḍatu al-Ṭālibīn, juz 9 hlm 45)
Karena itu bukanlah kewajiban istri maka aku tidaklah berhak sewenang-wenang memasrahkan semuanya padanya. Sedangkan aku sendiri mengurus pekerjaan lain yang menurutku lebih penting.
Kalaupun Ayi mau dengan suka rela mengerjakannya itu adalah bentuk shodaqoh yang sangat besar untukku. Bisa dibilang dia layak mendapat gaji dariku atas apa yang dikerjakannya itu. Namun kalau dia tidak bersedia atau keteteran karena banyak kerjaan lain yang juga harus ditangani gimana? Di sinilah pentingnya musyawarah untuk mencari solusinya.
Memberi Kesempatan Ayi untuk Membangun Karir
Ketika ada seseorang yang dengan bangganya mengisahkan perjuangannya mengurus rumah tangga sekaligus membangun karir sebetulnya membuat Ayi kena trigger. Aku tahu banget kalau dia menjadi ciut nyali ibarat seekor tikus dihadapkan dengan seekor singa.
Meskipun begitu, Ayi itu memiliki daya juang yang tangguh. Dia tidak akan menerima begitu saja diremehkan kalau apa yang dikerjakannya itu tidak ada apa-apanya dibanding perjuangan mereka mengurus rumah tangga sambil membangun karir. Ayi akan berjuang dengan gigihnya untuk membuktikan kalau stigma itu tidaklah benar. Mungkin ini sifat turunan dari kakek-kakeknya. Keduanya adalah veteran pejuang kemerdekaan RI.
Aku selalu bilang padanya untuk santai saja. Orang yang gembar-gembor seperti itu biasanya hanya untuk mencari pengakuan saja. Mungkin karena kurang mendapat apresiasi dari pasangan makanya berusaha mencari pengakuan dari orang lain.
Setiap orang memiliki kelebihan, kemampuan, karakter, hambatan, dan persoalan yang berbeda-beda. Ada yang memiliki hambatan fisik, ada yang memiliki hambatan ekonomi, ada yang memiliki kelebihan secara fisik, dan yang memiliki kelebihan secara materi. Kita tidak bisa menjadikan orang lain sebagai kaca cermin untuk membanding-bandingkan pencapaian diri.
Ayi sudah bersedia menerima syaratku untuk tidak menjadi PNS setelah menikah denganku. Aku merasa telah menghalanginya untuk membangun karir. Sedangkan aku sendiri memiliki peluang yang tidak terbatas untuk melakukan hal itu.
Di satu sisi, aku banyak menghabiskan sumber daya keluarga untuk membangun karirku. Di sisi lain, Ayi terganjal langkahnya untuk membangun karir karena urusan rumah tangga. Rasanya aku kok jadi egois banget. Oleh sebab itu, aku berusaha memberikannya kesempatan yang sama untuk membangun karir. Salah satunya adalah melimpahkan pekerjaan rumah tangga pada orang lain.
Memperbanyak Infaq
Dulu, kami pikir sayang banget kalau mengeluarkan uang sampai 1,5 juta untuk urusan domestik. Mending uangnya ditabung, diinvestasikan, atau untuk ambil KPR.
Namun ketika aku mendengar gus Baha mengatakan kalau memperbanyak infaq di jalan Allah itu penting untuk perekonomian umat Islam membuatku berubah pikiran.
Salah satu bentuk infaq di jalan Allah adalah jual beli yang sesuai syariat Allah. Selama ini, infaq dipahami seperti shodaqoh belaka. Padahal! Kita membelanjakan uang untuk membeli pakaian, makanan, dan kebutuhan lainnya itu juga merupakan infaq. Itu sesuai syariat dan termasuk infaq di jalan Allah.
Sedangkan membelanjakan uang atau harta untuk tujuan maksiat bukan termasuk infaq di jalan Allah. Misal untuk beli minuman keras, menyewa lonthe, main judi, dan lain sebagainya.
Kita bisa mengangkat derajat seseorang melalui infaq. Bayangkan saja seorang yang jualan kerupuk mendapat laba 500 rupiah akan sangat gembira jika dagangannya laku. Berbeda jika kita memberikan uang 500 rupiah itu secara cuma-cuma (shodaqoh). Bisa saja ia merasa dianggap seperti pengemis.
Dari sini, aku menjadi merasa tidak mengapa mengeluarkan uang sedikit lebih besar untuk biaya operasional rumah tangga. Meskipun nominalnya tak seberapa untuk ukuran ideal namun aku berharap semoga bisa membantu meningkatkan daya beli mereka.
Aku selalu berusaha mengajak Ayi untuk realistis menghadapi persoalan hidup. Aku sudah bosan menjadi orang yang pragmatis. Katakanlah produksi ide 1000 namun yang terelaisasi hanya 5 saja. Betapa dongkolnya hati. Apalagi jika ternyata ide itu lebih dulu direalisasikan oleh orang lain.
Sudahlah! Kita ikuti saja alur takdir ini. Gak perlu membandingkan apa yang telah dilakukan dengan pencapaian orang lain. Gak perlu pula ideal-idealan. Disyukuri saja apa yang telah Allah berikan pada kita.