Kemarin, Widut tidak menyangka kalau status Facebook yang dibuatnya bakal berbuntut panjang. Ia hanya ingin mengutarakan keluh kesahnya setelah mendapati buah pikirannya (artikel) dipublikasikan orang lain tanpa menyantumkan namanya. Mereka yang memublikasikan artikel itu ternyata lebih terkenal dan lebih viral dari pemilik aslinya. Widut cemburu. Itu wajar dan manusiawi. Paling tidak menurutku begitu.
Artikel yang di ambil oleh pemilik olshop untuk menjajakan dagangannya menggunakan soft selling atau yang dicopas oleh blogger untuk menaikkan trafik mereka tidak hanya satu atau dua melainkan banyak [banget]. Sebagian dari mereka lebih unggul di mesin pencari atau lebih viral di medsos dari sumber aslinya. Tak hanya itu, peredaran artikel yang tanpa menyebutkan sumber aslinya itu juga beredar luas melalui boadcast WA. Bayangkan saja, blog yang kami kelola biasanya bisa menghasilkan uang 5 sampai 7 juta per bulan kini terjun bebas menjadi dibawah 1 juta. Ya untung saja itu bukanlah penghasilan utama dan satu-satunya bagi kami.
Widut merasa ibarat memiliki seorang anak yang diakui menjadi anak orang lain tanpa seizinnya. Ketika dia berusaha mengambil anak itu malah dia yang jadi bulan-bulanan massa. Sedih? Tentu saja. Marah? Mungkin saja.
Aku bilang padanya untuk tidak bertindak di luar batas. “Aku sudah berusaha menjaga hatimu sekuat tenagaku. Jangan sampai hancur berantakan dan menjadi sia-sia apa yang telah aku perjuangkan selama ini”. Aku mengijinkan dia untuk menulis uneg-unegnya di Facebook untuk menyampaikan substansi keberatannya asal tidak tendensius terhadap pihak-pihak yang terkait.
“Kamu jangan GR kalau mendengarkanku berkata akan menjaga hatimu”, kataku sambil membenarkan posisi tidurku di sampingnya. “Menjaga hati yang kumaksud bukan berarti berusaha membuatmu selalu bahagia dan menghiburmu dikala sedih atau membelamu dikala berseteru” lanjutku.
Widut memicingkan mata untuk memperjelas penglihatannya membaca gerak bibirku. Ia penasaran lanjutan kata-kataku.
“Menjaga hatimu bisa bearti aku menyalahkanmu dikala salah atau memarahimu dikala teledor. Aku ingin menjaga hatimu dari penyakit-penyakit hati yang seringkali tidak kamu sadari keberadaannya”.
“Jadi, aku tidak boleh sebel, jengkel, dan sedih?”, Tanyanya setengah protes.
“Boleh. Itu boleh banget. Itu manusiawi. Sedih, jengkel, bingung, takut itu manusiawi. Itu dari Allah. Akan tetapi, merasa sedih, merasa jengkel, merasa bingung, dan merasa takut itu murni dari dirimu. Itu ulah nafsu. Dan itu yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah”.
Widut bangkit dari tidurnya untuk mencari posisi yang paling strategis membaca gerak bibirku. Aku tahu kalau dia belum memahami apa yang aku katakan.
“Ibarat mahasiswa yang sedang ujian maka kesedihan itu adalah soal yang diberikan dosen sedangkan caramu mengekspresikan kesedihan adalah jawaban yang kamu berikan. Jawaban itulah yang akan dinilai dan dimintai pertanggungjawaban. Jengkelmu pada orang-orang itu adalah soal sedangkan caramu mengekspresikan kejengkelan itu adalah jawabanmu yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat”.
“Ingatlah Visi dan Misi kita melalui Blogger Sejoli. Meskipun kita tidak dikenal oleh penduduk dunia, kita berharap bisa dikenal dan terkenal oleh penduduk langit. Terkenal karena kebaikan dan kemanfaatan kita tentunya. Bukan karena banyaknya dosa dan maksiat”.
“Jika terkadang terasa sakit di hatimu saat aku berusaha membersihkannya dari kotoran ya maafkan aku. Memang terkadang noda yang mengotori hati itu sulit dibersihkan dan akan terasa sakit kalau dipaksa untuk dibersihkan. Tapi ingatlah aku akan berusaha selalu menjaganya jika kamu masih percaya padaku. Sebaliknya aku juga mengharap dirimu memperlakukanku seperti itu. Tidak perlu sungkan atau bahkan takut untuk menegur atau menyalahkanku jika aku memang salah. Meskipun saat itu aku tidak terima disalahkan. Siapa tahu suatu saat aku bisa menyadari dan mamahaminya.”
“Aku ingin kita saling menjaga hati. Demi terwujudnya visi misi Blogger Sejoli”.
I love you, sayangku. 💕💕💕
Sumber status Facebook.