Dianggap Keminter Itu Biasa

Didalam menjalankan interaksi sosial, aku cenderung pasif. Aku bukanlah orang yang mudah berbaur atau mudah bicara (jawa: grapyak). Aku memerlukan waktu untuk mengamati karakter masing-masing orang yang akan berinteraksi denganku. Aku tidak ingin membuat lawan bicara salah paham terhadapku karena aku kurang memahami karakter mereka.

Ketika aku kerja di tempat baru atau pindah tempat tinggal di lingkungan baru, aku membutuhkan waktu untuk membaur dengan lingkungan sekitar. Ketika aku mengobrol dengan teman baru atau tetangga baru, aku lebih memilih menjadi pendengar saja. Hal ini aku lakukan untuk mengenal dan memetakan karakter mereka terlebih dahulu.
Aku tidak ingin melemparkan guyon yang malah membuat orang lain tersinggung karena aku tidak mengenal karakternya. Aku pun tak mau bercerita sampai berbusa-busa ternyata lawan bicara tidak memahaminya. Untuk itu, sebelum aku mengenal dan mampu memetakan karakter mereka, aku memilih diam dan bungkam saja. Hanya sesekali menimpali untuk menunjukkan antusiasku dalam menjalani interaksi sosial.
Namanya manusia tentu tidaklah sempurna. Aku sudah berusaha berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan lawan bicara tetapi tetap saja ada yang salah persepsi.
Pertama dianggap keminter karena diam. Diamku itu terkadang dimaknai sebagai penarikan diri dari komunitas sosial karena aku merasa pintar, anak kuliahan, sehingga merasa tidak pantas berbaur dengan mereka. Padahal aku diam karena takut menyinggung perasaan karena keceplosan akan suatu hal. 😭
Kedua, dianggap keminter karena keceplosan menggunakan bahasa ilmiah. Dalam sehari, aku menggunakan 4 bahasa yaitu: 
1) Jawa ngoko untuk bicara netral, 
2) jawa kromo untuk bicara dengan orang tua atau orang yang dihormati, 
3) bahasa Indonesia untuk urusan pekerjaan, menulis, atau keperluan lainnya
4) bahasa Inggris untuk ngoding, nyari referensi, dan pembuatan dokumentasi. Bahasa Arab gak aku masukkan karena sifatnya hanya hafalan untuk ritual ibadah atau untuk membaca Al-Qur’an saja.
Terkadang, otakku agak kesulitan memilah bahasa yang tepat untuk menyesuaikan lawan bicara. Campur aduk bahasa yang tidak tepat ini seringkali berbuah anggapan “keminter” pada diriku.
Dianggap Keminter Itu Biasa
Ketiga dianggap keminter karena suka beli dan baca buku. Pernah suatu hari beli buku habis 500 ribu dan langsung mendapat predikat “keminter” oleh emak-emak.
Keempat dianggap keminter karena kritis. Aku seringkali mempertanhakan suatu program yang kurasa tidak tepat kepada perangkat desa atau jajaran pemerintah lainnya. Selain keminter, aku juga dapat predikat nyinyir dari kasus ini.
Kelima dianggap keminter karena memegang prinsip. Ketika aku tidak mau menghadiri undangan kendurian saat menjelang maghrib atau bakda maghrib ternyata ada yang menganggapku keminter. Selain itu, aku dianggap tidak mau menghormati tetangga dan melestarikan adat/budaya. 
Selain kelima hal itu, sebetulnya masih ada lagi clausul yang menyebabkan aku dianggap keminter. Tapi cukup lah. Semoga yang awalnya keminter menjadi pinter betulan. 🙏

Leave a Reply