Lebaran yang dinanti-nanti kini telah tiba. Saatnya kami sekeluarga beraya bersama. Mengunjungi sanak saudara untuk saling bermaaf-maafan serta berbagi cerita. Tua-muda, besar-kecil, pria-wanita semua ada. Sengaja mengikat janji untuk beraya dan bergembira bersama.
Ini adalah tahun ke delapan aku di sini. Mengikuti tradisi hari raya yang dijalani. Sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di tanah kelahiranku. Sungkeman adalah salah satu tradisi yang perbedaannya sangat kentara.
Aku baru mengenal tradisi sungkeman sejak menikah dengan Ayi. Di kampung halamanku, tidak lumrah tradisi seperti itu. Di sana bermaaf-maafan biasanya dilakukan sambil berjabat tangan di depan pintu. Paling tidak itu yang aku tahu di tanah kelahiranku.
Di sini, aku awalnya bingung sekaligus malu. Malu karena belum pernah melakukan. Bingung karena tidak tahu apa yang diucapkan saat sungkeman. Oleh sebab itu, mungkin, selama 7 tahun di sini, aku tidak bisa menikmati tradisi sungkeman itu.
Selama ini, aku menjalankan tradisi sungkeman hanya untuk memenuhi kredit sosial belaka. Hanya untuk formalitas saja. Hanya untuk menjaga perasaan orang tua agar tidak dianggap aneh dan keras kepala. Itupun kalau bisa mencari alasan yang logis aku memilih untuk sungkeman terbatas ke kerabat yang terdekat saja.
Singkatnya adalah aku merasa terpaksa melakukan tradisi itu. Aku belum bisa menerima tradisi itu sepenuh hatiku. Aku masih berusaha mencari-cari celah untuk mbolos dari sungkeman yang membuatku bingung dan malu. Itu terjadi selama 7 kali hari raya selama aku tinggal bersama istriku.
Hari ini, aku merasakan ada perbedaan. Tiba-tiba aku sangat menikmati tradisi sungkeman. Aku bisa menjalankannya dengan sepenuh hati. Tidak ada keinginan untuk mbolos lagi.
Nikmatnya sungkeman adalah mendapat doa dari orang-orang yang disungkemi. Semakin banyak sungkem maka semakin banyak doa yang didapati. Sedangkan aku tidak tahu doa mana yang diijabahi. Hal ini membuatku belajar untuk berhusnudzon pada semua orang yang aku sungkemi. Niat tabarukan pada mereka semua untuk menjaga diri agar tidak tinggi hati.
Ahmad Budairi
Aku sangat menikmati sungkeman karena merasa setiap doa yang diucapkan oleh mereka yang aku sungkemi adalah salah satu bentuk ekspresi cinta. Doa yang dipanjatkan dengan penuh rasa cinta aku yakini bisa mengetuk pintu langit dengan liar biasa.
Doa yang dipanjatkan melalui sungkeman itu membuatku merasa dicintai dan diberkati. Siapalah aku? Derajat dan kedudukanku tak pantas jika disandingkan dengan mereka. Tapi nyatanya mereka mau mendoakanku dengan begitu tulusnya. Terkadang sampai diiringi derai air mata. Betapa itu membuatku sangat terharu dan bahagia.