NU Salatiga dalam Pusaran Politik

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi nirlaba atau non-governmental organization (NGO) yang salah satu fungsinya adalah membantu pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mengisi celah kosong layanan yang belum bisa dicover sepenuhnya oleh pemerintah.

Membantu pemerintah di sini bukan berarti harus masuk ke dalam struktur pemerintahan melainkan bisa juga dari luar pemerintahan. Kita ambil contoh layanan pendidikan yang diselenggarakan NU seperti pesantren, satuan pendidikan di bawah naungan LP Ma’arif, dan Universitas Nahdlatul Ulama beroperasi di luar pemerintahan. Bayangkan saja andaikata NU tiba-tiba memutuskan untuk menghentikan semua layanan pendidikannya akan seperti apa wajah pendidikan di Indonesia ini? Itu baru dari satu jenis layanan.

NU Bukan Alat Politik

NU bukanlah partai politik ataupun alat politik yang bisa dipakai dan dibuang sesuka hati belaka. Pada naskah Khittah NU poin ke 8 kaitannya dengan NU dan Kehidupan Bernegara disebutkan bahwa:

Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warga Negara yang mempunyai hak- hak politik yang dilindungi oleh undang-
undang.

Khittah NU poin 8

Kenyataannya banyak warga NU naturalisasi yang seenaknya sendiri membawa-bawa atribut NU sebagai senjata politik praktis untuk mendulang suara. Mereka seakan tak mahu tahu bahwa hal itu menyalahi AD/ART NU.

Warga NU tidaklah dilarang menggunakan hak politiknya karena hal itu dijamin oleh undang-undang. Yang menjadi larangan adalah membawa atribut NU untuk berkampanye atau mencari dukungan.

Menghimbau, mengajak, atau memerintah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan hak suara kepada Capres. Cagub, Cabub, Caleg, atau peserta pemilu lainnya dengan mengatasnamakan NU telah melanggar AD/ART NU

Ahmad Budairi

Pemanasan Mesin Politik Menjelang Pilkada 2024

Tidak dipungkiri bahwa sudah banyak kekuatan politik yang mulai mengincar basis-basis suara dari NU Salatiga untuk persiapan pilkada 2024. Beragam cara dilakukan mulai dari safari politik, pemberian bantuan atau santunan, sampai mencatut nama NU atau tokohnya dalam pencitraan melalui media masa atau sosial media.

Pendekatan pada tokoh-tokoh NU yang dianggap memiliki kekuatan untuk membuka kran suara jamaahnya untuk diarahakan memilih yang bersangkutan sudah begitu kental terasa. Bantuan uang atau logistik untuk pembangunan, pelaksaan kegiatan, sampai hajat pribadi terus digulirkan untuk menarik simpati.

Politik pencitraan sudah sangat tercium aromanya. Penggunaan sosial media, media massa, atau alat lainnya sudah bisa dilihat dengan jelas.

Itu semua adalah hal-hal yang manusiawi dan dibenarkan sesuai undang-undang yang berlaku di Indonesia. Sedangkan tokoh maupun pengurus NU tentu saja memiliki strategi politik yang berbeda-beda untuk menghadapi gempuran politik dari para politisi itu. Bagaimana caranya untuk membentengi NU agar tidak dijadikan alat politik praktis adalah menjadi PR kita semua.

Mewaspadai Politik Balas Budi

“Pakewuh” atau “tidak enakan” adalah salah satu karakter yang menjadi titik bidik mesin-mesin politik. Ketika seseorang atau sekelompok orang telah merasa dibantu salah satu calon maka akan merasa pakewuh jika tidak memberikan dukungan pada calon tersebut.

Hal ini bisa menjadi bencana mana kala tokoh yang bersangkutan tidak bisa menyikapi adanya perbedaan pilihan politik dengan cantik. Katakanlah tokoh A dekat dengan calon A dan tokoh B dekat dengan calon B. Benturan politik antara tokoh A dan B beserta jamaahnya tidak bisa dielakkan manakala politik balas budi dibawa-bawa. Tokoh A bilang “calon A sudah membantu ini dan itu maka…” sedangkan tokoh B bilang “calon B telah nyumbang pembangunan ini dan itu maka…”. Hal seperti ini pada umumnya menimbulkan perpecahan.

Politisi seringkali hanya datang ke NU dan nyumbang saat ada hajat politik saja. Sedangkan pengurus & kadernya selalu sedia untuk berkhidmah dan berjuang kapan saja.

Lalu apa pantas membela politisi mati-matian tapi mengabaikan nasib pengurus dan kadernya?

Ahmad Budairi

Sungguh sangat ironis ketika melihat adanya ketimpangan cara seseorang (oknum) memperlakukan politisi dengan kader & pengurus NU. Di satu sisi, politisi dibantu sekuat tenaga kalau perlu sampai disiapkan ubo rampenya untuk meraih ambisi politik tapi di sisi lain para kader dan pengurus diminta untuk neriman & sendhika dhawuh saja agar mendapat barokah.

Leave a Reply