Pelepasan Siswa

HAYU NURUSSHOFA baru saja mengikuti acara pelepasan siswa di sekolah bersama orang tuanya. Mereka biasa menyebutnya dengan haflah akhirus sanah yang kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih adalah acara atau perayaan akhir tahun. Semacam acara perpisahan sekolah yang dibuat untuk merayakan kelulusan Hayu beserta teman seangkatannya.

Barangkali perbedaannya dengan acara perpisahan adalah di sini dikemas dengan nuansa yang agamis. Susunan acaranya tak jauh beda seperti acara pengajian umum. Hanya saja, kalau di sini diberi tambahan pementasan siswa-siswi dengan beragam kreativitasnya. Ada yang membacakan puisi, mementaskan drama, menyajikan tarian tradisional sampai tari kreasi, dan membacakan nadlom kitab. Hayu kali ini tidak mendapatkan tugas untuk tampil karena dia adalah salah satu siswa yang akan dilepaskan. Adik-adik angkatan lah yang bertugas untuk memeriahkan acara itu dengan beragam pentas yang telah dirancang jauh hari sebelumnya.

Setelah pra acara yang diisi beragam pementasan dari adik angkatan, acara pun dimulai oleh pemandu acara. Naya dan Awan yang bertugas sebagai pemandu acara. Mereka membuka acara dengan mengajak tamu undangan membaca Al-Fatihah bersama-sama. Setelah itu,  dilanjutkan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh dik Hasan. Begitulah dia biasa dipanggil oleh teman-temannya. Panggilan dik yang disematkan padanya itu terkadang lucu juga kalau dipikir-pikir. Bahkan teman-temannya yang usianya jauh lebih muda pun ikut-ikutan memanggil dik. Kenapa bisa begitu?

Awalnya yang memanggil dik Hasan hanyalah beberapa orang saja. Salah satunya adalah Hayu. Dia memanggil dik bukan tanpa alasan. Hasan adalah anak dari   pak Soleh yang merupakan adik dari ibunya Hayu. Beberapa siswa lainnya yang juga turut memanggil dik statusnya sama dengan Hayu yaitu secara garis keturunan dianggap lebih tua dari Hasan menurut budaya Jawa. Jadi meskipun Hasan lebih tua tetap dipanggil dik jika secara garis keturunan dianggap lebih muda.

Nah! Gara-gara beberapa orang yang memanggil dik itulah banyak teman lainnya yang ikut-ikutan ‘latah’ memanggil dik. Bahkan ada kejadian lucu terkait panggilan dik ini.

Ceritanya begini.

Waktu itu, Sugeng dari kelas Pattimura  diminta bu Nana seorang guru Aqidah Akhlaq untuk duet dengan Hasan dari kelas Sudirman membaca nadlom Ngudi Susilo pada acara peringatan hari pendidikan nasional. Dengan percaya diri, Sugeng pun mendatangi kelas Sudirman sesaat setelah lonceng istirahat berbunyi.

Sesampainya di kelas Sudirman, dia mendapati hanya beberapa orang saja yang masih berada di kelas. Sebagian siswa ada yang pergi ke kantin, sebagian ada yang sholat dhuha, kebanyakan siswa duduk-duduk di teras kelas saja sambil sesekali menyoraki siswa dari kelas lain yang lewat di hadapan mereka. Tentu saja tidak semua yang lewat mereka soraki. Hanya yang mereka kenal dan dianggap menarik saja. Begitulah cara mereka cari perhatian atau caper dari orang yang disukai. Bukan memberikan kado atau perhatian malah membuat mereka malu dengan menyoraki rame-rame.

“Cari siapa, mas?” Tanya Ana yang melihat Sugeng celingukan seperti mencari seseorang.

“Anu… Mas Dik di mana, ya?” Katanya malah balik tanya setelah melihat Hasan tidak ada di teras maupun dalam kelas.

“Mas Dik?” Gumam Ana yang tidak mengerti siapa orang yang dimaksud Sugeng sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu.

“Mas Dik siapa, mas? Di sini tidak ada yang namanya mas Dik. Adanya mas… dik Tari” potong Tari bercanda sambil berusaha memanis-maniskan senyuman manjanya.

“eh… Itu loh yang biasa jadi qori’ tilawah saat ada acara” jawab Sugeng berusaha menjelaskan. Dia memang sudah sering melihat Hasan bertugas membaca tilawah saat ada acara tapi belum pernah sekalipun bertegur sapa.

“oalaaaa… dik Hasan, to?” Tukas Ana dan Tari hampir bersamaan. Keduanya berpandangan lalu tawa mereka pecah. Kok ada orang yang salah paham, pikir mereka. Dikira dik itu adalah bagian dari namanya Hasan. Mungkin Sugeng sering mendengar teman-teman hanya menyapa hasan dengan sebutan dik tanpa dikuti namanya sehingga dikira dik adalah bagian dari namanya. Tapi bukankah nama lengkap Hasan sering disebut oleh pemandu acara saat tugas Hasan membaca tilawah tiba? Tapi mengapa Sugeng masih gagal paham? Entahlah.

Setelah mendapat penjelasan kalau Hasan biasanya kalau jam istirahat pertama ke masjid untuk sholat dhuha, Sugeng pun berlalu sampai lupa mengucapkan terimakasih. Mungkin karena malu telah salah sebut nama tadi.

Setelah sambutan dari ketua panitia, acara dilanjutkan dengan upacara pelepasan siswa yang dipandu oleh pak Luqman seorang guru olahraga sekaligus guru kesenian.

Upacara pelepasan siswa dimulai dengan pemanggilan nama siswa-siswi yang telah dinyatakan lulus. Masing-masing siswa yang dipanggil pak Luqman secara berurutan menempati posisinya di depan panggung menghadap ke tamu undangan. Ada 43 siswa yang dipanggil untuk berbaris menjadi 3 shaf.

Upacara kali ini berbeda dengan biasanya. Setelah pak Luqman memanggil semua nama siswa dan memastikan mereka telah menempati posisi masing-masing, bu Nana dimintanya mengisi khutbah iftitah sebelum pak Hakim selaku kepala Madrasah memberi sambutan untuk melepas dan menyerahkan kembali anak didiknya kepada orang tua atau walinya.

Setelah bu Nana menyampaikan beberapa pesan yang menyentuh hati beberapa saat, para siswa diminta untuk memohon maaf sekaligus restu pada orang tua atau wali masing-masing.

“Dalam hitungan ketiga, kalian carilah orang tua masing-masing. Sungkem dan minta maaflah pada mereka. Setelah itu,  mintalah mereka mengalungkan medali yang kalian bawa itu pada leher kalian. Merekalah yang lebih berhak melakukannya daripada kami” Perintah bu Nana dengan suara menggema melalui pengeras suara. “Tanamkan betul-betul pada hati dan pikiran kalian bahwa… Sebanyak dan setinggi apapun ilmu yang kalian dapat namun kalian tidak bisa menghormati orang tua maka tidak akan ada gunanya. Sekali lagi aku ulangi tidak akan ada gunanya!” lanjut bu Nana dengan intonasi yang sangat menggetarkan hati.

Siswa-siswi berhamburan menuju orang tua atau wali masing-masing untuk melaksanakan perintah setelah mendengar bu Nana berhitung sampai pada angka tiga.

Hayu melangkah menuju ibunya, diiringi suara lembut paduan suara terdiri dari siswa-siswi adik angkatan yang menyanyikan lagu “Syukur”. Lagu itu mengalun penuh penghayatan, setiap baitnya mengisi ruangan dengan rasa syukur mendalam. Para tamu yang hadir ikut terdiam, larut dalam suasana haru.

Berlutut di hadapan ibunya, tangan mungil Hayu gemetar saat meraih tangan wanita yang telah mendidiknya dengan penuh kasih. Dengan takzim, Hayu mencium punggung tangan ibunya. “Bu… maafkan semua kesalahan Hayu. Terima kasih atas segala pengorbanan Ibu,” ucapnya, suaranya parau menahan tangis.

Ibunya berusaha tetap tersenyum meskipun air matanya tak bisa dibendung. “Nak, kau sudah menjadi kebanggaan Ibu. Jadilah anak yang baik dan jangan lupa sholat di manapun berada.”

Saat kalung medali menyentuh lehernya, Hayu merasakan campuran bangga dan gugup. “Apakah aku siap untuk menempuh jenjang baru kehidupan?” pikirnya. “Doakan Hayu, bu. Doakan Hayu semoga selalu bisa menjalankan nasehat ibu. Semoga Hayu tidak mengecewakan ibu dan bisa membahagiakan ibu”.

Ibunya mengusap kepala Hayu dengan lembut “Ibu selalu mendoakanmu, nak. Semoga semua hajatmu terkabul”.

Saat bait terakhir dinyanyikan untuk ketiga kalinya, Hayu bangkit perlahan, memeluk ibunya erat. Restu sang ibu terasa begitu mendalam, menjadi doa yang akan selalu menyertai langkah Hayu di masa depan.

Pada saat itu, tidak hanya mereka yang tumpah air matanya. Para guru juga terlihat tak dapat membendung tangisnya. Begitu pula sebagian adik kelas yang ikut menyaksikan acara itu. Bu Nana yang sedari tadi tampak sangat tegar juga terlihat menyeka air matanya.

Hari di mana bedak di pipi luntur seluntur-lunturnya disebabkan banjir air mata itu mungkin akan menjadi pengalaman yang sangat berkesan bagi mereka. Suatu saat, mereka akan merindukan momen itu. Mereka akan menangis atau mungkin cekikikan sendiri ketika mengenang kejadian itu.

“Mak, tadi bu lik telpon…” kata Hayu. Belum sempat dia melanjutkan ucapannya, ibunya sudah memotong seakan tak sabar ingin mengetahui ada kabar apa dari adiknya.

“Apa katanya?” tanya ibu setengah berteriak. Suara deru mesin angkot yang ditumpanginya itu seakan berpacu dengan  suara gesekan roda melibas jalan yang dilaluinya membuat suasana bising yang luar biasa. Belum lagi suara mesin kendaraan yang juga berlalu lalang di sana menambah telinga tak bisa mulus manangkap suara orang bicara dengan tanpa berteriak.

Hayu pulang dari acara pelepasan siswa dengan naik angkot. Pemandangan yang asing, bukan? Tapi tidak di kampung Hayu. Di sana hal yang biasa melihat pemandangan seperti itu.

“Aku disuruh liburan ke rumah bu lik sambil kursus bahasa Inggris di sana selama liburan. Gimana, mak?” Jawab Hayu juga setengah berteriak sambil mendekatkan mulutnya ke telinga ibunya.

“Apa punya uang?”

“Ada sedikit hasil dari tabungan di sekolah. Lagipula bu lik akan ke sini menjemputku”

“Husna mau ke sini?” Tanya ibu sedikit terkejut.

“Inggih” jawab Hayu singkat.

“Ya nanti saja dibahas kalau Husna jadi ke sini”

Mereka kemudian terdiam. Hayu  mengalihkan pandangannya ke sekitar jalan yang dilaluinya. Terlihat begitu luas terhampar persawahan yang disulap menjadi lahan tebu.

Kata orang, lahan bengkok yang ditanami tebu itu digarap orang yang dulunya memberikan modal pencalonan kepala desa yang sekarang menjabat. Jadi, meskipun dia sekarang menjabat jadi kepala desa tapi sudah tidak bisa memanfaatkan lahan-lahan bengkok yang cukup luas itu karena sudah terikat perjanjian dengan bandar yang meminjaminya modal. Dia hanya mendapat bagian sedikit bengkok yang kesuburannya tidak bisa menandingi lahan tebu itu.

Hayu memang belum pernah ikut memeriahkan pesta demokrasi di desanya itu dengan memberikan hak pilih pada calon yang berebut menjadi kepala desa. Hanya saja, gosip ibu-ibu di sekitarnya itu sering membuatnya geram.

“Kok ada ya calon kepala desa sebodoh itu? Mau saja dikibuli bandar. Kalaupun jadi kepala desa hanya menuruti kemauan bandar itu jelas gak keren. Keren itu jadi kepala desa yang melayani rakyat. Bukan melayani bandar apalagi jadi wayangnya bandar” gumannya dalam hati saat mendengar gosipan ibu-ibu.

Discover more from Blogger Sejoli

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading