Setiap berkunjung suami langsung mendekatinya. Jika hanya ada aku, di ruang tamu dengan kursi panjang sepasang, suami akan bergegas menidurkan diri di kursi panjang dengan kepala di pangkuannya. Ada kedekatan yang sangat intim diantara mereka berdua. Bercanda. Bercerita. Tentang apapun, tentang kehidupan kami, tentang Salatiga yang dingin, tentang perjalanan kami saat pulang kampung.
Usianya kutaksir lebih dari sembilan puluh. Aku tak menyangka jika lebaran kemaren adalah pertemuan yang terakhir dengan beliau. Masih melekat kuat di ingatan saat beliau menyodorkan rempeyek kedelai khusus untukku, menyodorkan makanan yang sekiranya bisa kumakan, karena saat itu tengah mabok berat.
Satu-satunya mbah dari suami yang sempat kukenal kini telah tiada. Ada kesedihan yang menghentak, kehilangan yang diam-diam menjalar. Apatah lagi suami baru saja sampai di Pati saat menerima kabar duka ini, pun aku tidak bisa bertandang kesana karena kehamilanku telah menjajaki usia tua. Hanya mampu berdoa untuk beliau, dan tentu saja untuk suami dan saudara lain yang kehilangan neneknya, Emak yang kehilangan Ibunya…
Allah… Lapangkan kuburnya, terangi dengan cahaya-Mu, selimuti dengan kasih-Mu.
Sampai berjumpa lagi kelak, Mbah, dalam perjumpaan indah yang kekal…
Sabar dan tabah, Abah…
Maafkan, aku tak ada di saat-saat seperti ini, kau harus menghadapinya sendiri, memutuskan semuanya sendiri, menghadapi kehilangan ini sendiri, hanya mampu memelukmu dalam doa. Sehat selalu.