Selamat Menempuh Hidup Baru, Mak!

Tidak pernah terbayangkan dalam imajinasi sekalipun jika kami harus segera pindah ke Semarang di awal tahun 2019. Baru saja pulang liburan di kampung halaman selama 2 minggu, titah untuk segera ke Semarang langsung bertandang. Enggak menunggu nanti, kami hanya diberi waktu 1 minggu untuk sekedar ‘benafas’ di rumah sebelum hijrah ke Semarang.

Bacanya ngos-ngosan, ya? Apalagi yang mengalami, drama demi drama harus kami hadapi.

Setiba di Semarang, sambil mencari kontrakan yang cocok kami menginap di rumah pak Boss. Enggak ada yang usil, semua baik-baik. Mbak-mbak asisten, istri pak Boss, dan juga anak-anaknya sangat welcome.  Masalah datang ketika si K yang terbiasa main bebas harus kubatasi karena aku sungkan mengotori rumah yang standar kebersihananya jauh di atas standar kebersihanku.

Kan enggak lucu kalau kami menjadi biang keladi berantakannya rumah. Selama di rumah pak Boss, jam menonton si K melonjak drastis. Bahkan sampai si K merasa bosan nonton dan meminta bermain, aku masih memaksa si K tetap nonton karena saat itu sudah malam. Ya gimana, masa yang lain istirahat kami malah ramai bermain?

Lika-liku Mencari Kontrakan

Mencari rumah memang kayak jodoh, bahkan lebih rumit…

Allright. Awal di Semarang, aku mencari info perihal kontrakan dari beberapa sahabat. Minggu kedua, kami survey kontrakan satu demi satu. Ada yang cocok harga dan rumahnya, eh, enggak cocok lingkungannya. Ada yang cocok lingkungannya, eh, rumahnya berhalaman sempit dan enggak memungkinkan si K bermain.

Gusti Allah… Mudahkan… Mudahkan.

Pak Boss sempat menyarankan untuk ngekost dulu di kost dekat kantor abah K. Kami segera survey dan syock mendapati harga pebulannya 650k, dengan kamar berukuran 2 x 3 meter, kamar mandi luar dan dapur keroyokan.

Allah, itu pun halamannya enggak leluasa digunakan bermain si K. Aku langsung meminta abah K untuk menunda ngekost dulu. Better mencari kontrakan sekalian, pikirku. Apalagi jika pindah-pindah melulu juga kasihan si K, adaptasi berulang, rewel terus-terusan.

Di tengah keputusasaan, abah K mengusulkan untuk bertanya kepada setiap orang di kampung yang menurut kami mempunyai suasana yang enak. Seorang Ibu paruh baya menunjukkan sebuah kontrakan di depan mushola.

Kontrakan berukuran mungil dengan lantai belum dikeramik dan dinding yang belum tuntas dicat. Ingatanku langsung melayang ke jaman aku masih kecil. Rumahnya mungil, hanya seukuran ruang tamu rumah Ibu.

Aku mengambil nafas dalam-dalam, berulang-ulang merapal mantra; ini saatnya untuk berjuang. Abah K sempat menangkap ekpresiku yang enggak biasa. Kami sempat konflik sebentar. Aku merasa abah K sengaja mengajak kami susah, abah K merasa istrinya tidak siap diajak berjuang.

Here We are, Rumah Sederhana yang Penuh dengan Cinta

Dengan berbagai pertimbangan, juga dengan Bismillah, akhirnya kami memilih untuk mengontrak di rumah sederhana depan mushola. Agar enggak cuma duniawi saja yang upgrade, tetapi juga ibadahnya.
Hari itu hari jum’at kala kami memutuskan untuk segera menempati rumah kontrakan. Baru saja menginjakkan kaki di rumah, Ibu pemilik kontrakan yang sudah kami anggap sebagai Ibu sendiri datang menawarkan bantuan dan membeikan sebaskom piring, gelas sendok, ceret.
Menjelang maghrib, Mbak di depan rumah mengantarkan berkatan berisi nasi, urab dan aneka lauk. Pagi harinya, si Mbak memberi ceret ungu dan serantang lauk opor yang enak banget. MaasyaAllah. Aku sungguh bersyukur dengan lingkungan yang ramah dan saling berbagi ini.

Allahumma ya Allah, Hamba memohon kepada-Mu, rumah yang penuh berkah dan memberikan manfaat kepada lingkungan sekitar, tetangga yang saling berlomba-lomba dalam kebaikan, juga sisa umur yang penuh berkah.

Leave a Reply