Filosofi Pendidikan Anak Menurut Montessori

Banyak tokoh di dunia ini yang mengemukakan filosofi pendidikan anak menurut versinya masing-masing. Salah satu tokoh yang konsen pada dunia anak dan mengemukan pandangan-pandangan filosofisnya adalah seroang dokter bernama Maria Montessori yang lahir di Italia pada awal abad ke-20, lebih tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1870. Selanjutnya teori, metode, atau pandangan-pandangannya tentang pendidikan anak disebut dengan Montessori.

Pak Fahruddin Faiz1 dalam bukunya yang berjudul Filosofi Pendidikan Anak merangkum pandangan-pandangan Montessori yang terakit dengan pendidikan anak dalam sebuah sub pembahasan Filosofi Pendidikan Anak Maria Montessori. Ada 10 pandangan filosofis yang disampaikan pak Faiz pada buku tersebut yaitu:

Respect for Children

Asas menghargai atau menghormati anak sangatlah penting atau bisa dibilang modal utama dalam menghadirkan pendidikan untuk anak. Guru atau orang dewasa lainnya menurut pandangan Montessori tidak diperkenankan menjadikan anak sebagai robot atau mesin yang diprogram semau mereka tanpa mempertimbangkan segala potensi yang dimiliki oleh anak tersebut.

Pak Faiz pada buku yang sama mengatakan kalau anak itu adalah paket potensi, bukan paket jadi2. Oleh sebab itu, menghormati potensi yang dimiliki anak dengan mengikuti cara mereka belajar adalah cara yang paling baik untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.

Absorbent Mind

Filosofi pendidikan anak kedua menurut Montessori adalah anak memiliki fase dengan pemikiran seperti spons yang menyerap apa saja yang disentuhnya. Anak-anak pada fase itu akan menirukan atau mengadaptasi semua ucapan maupun perilaku orang-orang di sekitarnya. Jika anak dididik dalam lingkungan yang pemarah maka dia akan meniru menjadi pemarah. Jika anak dididik dalam lingkungan yang santun dan berbudi pekerti luhur maka anak akan meniru gaya tersebut.

Sensitive Period

Anak terlahir ke dunia ini memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. Secara biologis, ia dibekali insting yang canggih untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Sebelum ia benar-benar bisa melihat apalagi mengenali mana orang tuanya, ia bisa dengan cepat belajar minum susu melalui puting yang disodorkan ke mulutnya. Pada fase-fase berikutnya sensitivitas anak akan meningkat entah terhadap benda-benda kecil yang berusaha diraihnya dan dimasukkan ke dalam mulut, gerakan-gerakan yang mengalihkan perhatiannya, bahasa, ataupun interaksi sosial.

Anak yang suka bertanya bearti memiliki sensitivitas bagus. Disamping itu, panca indera anak secara umum memiliki sensitivitas yang bagus juga. Periksa ini untuk menilai perkembangan anak secara berkala.

Educating The Whole Child

Pandangan filosofis Montessori yang keempat adalah anak harusnya dididik secara keseluruhan atau kaffah. Guru, orang tua, atau orang dewasa lainnya jangan hanya fokus pada aspek akal atau kognitif saja namun melupakan pendidikan pada aspek spiritual dan sosial.

Ajari anak untuk mengenal aqidah, adab atau budi pekerti, berbicara yang santun, dan lain sebagainya. Tanamkan sedari dini bahwa anak memiliki potensi yang sangat luar biasa jika semua potensi itu diaktivasi semuanya. Tuntun atau arahkan mereka untuk mengaktivasi semua potensi itu jangan malah memupusnya dengan memaksakan ambisi orang tua.

Individualized Learning

Anak terlahir dengan karakter dan potensi yang berbeda-beda maka seyogyanya mereka dididik dengan cara yang berbeda-beda pula. Anak yang terlahir dengan gaya kinestetik tidaklah cocok jika disuruh belajar dengan duduk atau berdiam diri di kursi maka anggapan guru bahwa anak yang baik itu adalah anak yang anteng atau cenderung pendiam harus dihilangkan.

Jika anak dididik dengan cara yang sama kemungkinan banyak potensi anak yang tidak dapat berkembang dengan baik manakala cara itu tidak cocok dengannya. Maka dari itu kenali dan petakan potensi masing-masing anak untuk dijadikan bahan menyusun lingkungan, strategi, dan bahan ajar yang sesuai dengan meraka.

Freedom of Movement & Choice

Pandangan filosofis Montessori yang keenam adalah anak sebaiknya diberi kebebasan untuk bergerak dan menentukan pilihannya sendiri dalam belajar. Orang tua atau guru tidaklah perlu menjadi orang yang sok tau dengan beranggapan apa yang dilakukannya pada anak semuanya adalah untuk kebaikan mereka bahkan ketika memaksa mereka untuk tunduk pada ambisi yang dibuat-buatnya sendiri.

Ketika anak diberi kebebasan untuk menentukan tujuan belajar serta caranya untuk mencapai tujuan tersebut maka mereka akan memiliki rasa puas saat tujuan yang telah dibuatnya tercapai. Akan tetapi ketika tujuan itu dibuatkan oleh orang lain mungkin rasanya akan beda. Mereka berlomba mencapai tujuan mungkin karena takut dimarahi atau motivasi eksternal lainnya.

Prepared Environment

Lingkungan pendidikan bukan hanya yang ada di sekolah saja melainkan lingkungan keluarga dan lingkungan sosial yang ada di sekitar tempat tinggal anak sebaiknya memang telah disiapkan untuk mendukung pendidikan mereka. Orang tua atau masyarakat tidak boleh lepas tangan atau abai terhadap upaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang baik bagi anak-anak di sekitar mereka.

Kerjasama antar pihak sekolah, wali murid, dan masyarakat sekitar dibutuhkan untuk membuat semacam kesepakatan dalam upaya menyediakan lingkungan yang ramah pendidikan anak. Di manapun berada, masyarakat saat bertemu dengan anak-anak harus dalam mode belajar atau mengajar. Biarkan anak ramai dengan mainannya, sediakan anak-anak tempat menggambar di ruang publik misalnya agar hasrat mencoretnya tersalurkan dengan baik tanpa melakukan vandalisme, atau hal lainnya yang mendukung belajar anak-anak meskipun bukan anak sendiri.

Intrinsic Motivation

Menumbuhkan motivasi internal anak sangat diperlukan agar keinginan belajarnya tidak pudar oleh waktu. Apalagi pada zaman dengan banyak distraksi gadget seperti ini, anak-anak tanpa internal motivasi untuk belajar bisa saja hanya belajar kalau di sekolah atau dipaksa oleh orang tuanya saja.

Kita bisa memanfaatkan rasa keingintahuan akan yang tinggi untuk membangkitkan internal motivasi anak. Hindari mengatakan “cerewet” atau “bawel” pada anak yang banyak mengajukan pertanyaan random. Memang itulah cara mereka untuk memenuhi hasrat ingin tahu. Jangan dipadamkan sebailiknya gunakan hal itu untuk menumbuhkan motivasinya dalam belajar.

Independence

Semua upaya pendidikan yang dilakukan pada anak muaranya adalah untuk membuat mereka bisa mandiri. Anak yang awalnya hanya bisa tiduran diajari berjalan agar kemana-mana dia bisa berjalan sendiri tanpa perlu digendong. Seiring berjalannya waktu mereka diajari cara makan, cebok, ganti pakaian, menggunakan alas kaki, dan lain sebagainya tujuannya juga agar mereka bisa mandiri.

Guru atau orang tua tidaklah perlu risau ketika anak melakukan kesalahan. Jangan terlalu dimanja atau disalahkan. Biarkan anak melakukan kesalahan lalu berikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya itu. Dengan begitu, mereka akan belajar mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.

Anak yang dimanja mungkin akan kesulitan untuk menuju kemandirian karena selama ini kebutuhannya selalu dilayani. Namun anak yang selalu disalah-salahkan juga akan mengalami hal yang hampir sama. Karena selama ini selalu disalahkan tanpa deberi waktu untuk memperbaiki kesalahannya maka dia akan menjadi orang yang kurang percaya diri. Meskipun dia bisa melakukan sesuatu tapi akan menunggu “penilaian” orang lain. Dia tidak percaya diri dengan apa yang telah dilakukannya itu. Jadi keduanya sama-sama tergantung pada orang lain.

Auto Education

Filosofi Pendidikan kesepuluh menurut Montessori adalah auto education atau anak-anak akan belajar dengan sendirinya. Ketika mereka diberikan kebebasan menentukan tujuan dan cara belajarnya sendiri kemudian bisa sampai mandiri maka akan ada kepusan batin yang dirasakan oleh mereka. Kepuasan batin ini akan menjalar menjadi motivasi internal sehingga mereka akan semakin giat belajar agar bisa lebih mandiri dan lebih puas lagi.


Demikianlah 10 filosofi pendidikan menurut Maria Montessori. Kita bisa menggunakannya untuk mendidik anak-anak kita atau anak didik yang dititipkan pada kita. Namun perlu diketahui bahwa ideal itu tempatnya di pikiran. Mungkin kita tidak akan bisa melaksanakan idealisme kita 100% pada kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, jangan berkecil hati apabila hanya bisa menjalankan beberapa poin saja. kaidah fiqih berbunyi “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu” yang maksudnya kurang lebih adalah jika tidak bisa mengambil semuanya maka janganlah lantas meninggalkan semuanya.

  1. Fahruddin Faiz, Filosofi Pendidikan Anak, (Yogyakarta: MJS Press, 2024), hal. 11 ↩︎
  2. Ibid., hal 4. ↩︎

Discover more from Blogger Sejoli

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading