Kebahagiaan Sosial Sumber Kebahagiaan Individu

Membaca filsafat kebahagiaan Al-Farabi membuatku merasa mendapat legitimasi terhadap aksi sosial yang selama ini aku lakukan. Simbah Farabi dhawuh bahwasanya: kebahagiaan sosial adalah sumber kebahagiaan individual. Jadi, kita tidak bisa abai terhadap kebahagiaan masyarakat. “Itu bukan urusanku. Yang penting aku bahagia.”

Namun sayangnya kita tidak bisa mengukur indeks kebahagiaan suatu desa atau kota secara akurat. Yang bisa kita lakukan adalah membuat proksi untuk membuat gambaran umum kebahagiaan masyarakat di dalam suatu desa atau kota. Beberapa proksi yang bisa digunakan adalah: tercukupinya kebutuhan dasar biologis, terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri, dan terpenuhinya kebutuhan pengembangan diri melalui ragam pendidikan yang tersedia.

Definisi cukup menurut pak Fahrudin Faiz adalah hidup dengan pas atau tidak kekurangan maupun berlebihan. Hidup secara pas itu berbeda dengan hidup pas-pasan. Orang yg biasanya cukup makan seporsi ya jangan coba-coba makan 5 porsi. Lambungnya tidak akan muat. Sebaliknya yang biasa makan 3 porsi ya jangan gaya makan seporsi saja krn jiwanya akan berontak.

Nah! Selama aktif di NU, aku berusaha fokus pada dua hal yaitu pendidikan dan ekonomi. Melalui LAZISNU, kita bareng² berupaya memutus rantai kemiskinan dan kegoblokan melalui berbagai program. Memang ada yang berhasil ada pula yang gagal. Dari sisi ekonomi, kita upayakan pendampingan bisnis, suntikan modal, layanan konsultasi bahkan sampai advokasi.

Sisi pendidikan kita upayakan bantuan pada anak yatim hakiki maupun majazi agar tetap bisa sekolah/kuliah dg segala keterbatasan yg ada. Kita bantu membuat terobosan, inovasi, ataupun hal lain pada satuan pendidikan yang bersedia bekerjasama dg kami. Pun membantu mencarikan bantuan pendanaan untuk satuan pendidikan yang sedang memerlukan biaya pengembangan.

Kenapa dua hal itu yg menjadi titik fokus?

Karena aku melihat di situ terdapat kesenjangan yang cukup tinggi. Di satu sisi ada yang hidup dengan serba keberlimpahan harta, akses pendidikan, dll. Di sisi lain, ada yang makan saja terkadang menunggu belas kasihan tetangga hingga tak ada daya mikir pendidikan.

Artinya secara pemenuhan kebutuhan dasar seara sosial ada yang belum tercukupi.
Aku dulu hanya berpikir sederhana saja. Begini:

“Kalau anak² itu tidak dibantu untuk mengakses pendidikan, tidak didampingi agar merasa mendapat perhatian & kasih sayang lalu mereka salah pergaulan & menjadi anak² ‘nakal’ maka kita sendiri yang repot”.

Bayangkan mereka hidup tanpa aturan, cangkrukan, tawuran, seks bebas, dll di sekitar lingkungan kita kira² bagaimana? Bayangkan saja kalau mereka ditegur malah ngancam, nantang, atau dendam.

Potensi anak² kita terdampak perilaku mereka kira² bagaimana? Entah anak² ngikuti gaya mereka atau malah ketakutan dibully atau ditantang berkelahi.

Kalau hal ini sampai terjadi, kira apakah masih tetap yakin kalau yang penting diri sendiri bahagia tanpa memperdulikan orang lain?

Discover more from Blogger Sejoli

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading