Lebaran kali ini berbeda. Bayangan untuk mudik ke Salatiga di H-14 dan mudik ke Bojonegoro di H+2 buyar sudah saat ada ultimatum larangan mudik. Ini bukan catatan keluh kesah, hanya ingin bercerita untuk dikenang kelak bahwa kita pernah melewati ramadan dan lebaran yang berbeda, yang mudik menjadi sebuah kegiatan yang terlarang.
Daftar Isi
Catatan Ramadan 2020
Ramadan 2020 mempunyai suasana ramadan yang berbeda. Tidak ada hiruk-pikuk petasan seperti ramadan yang telah lalu. Hening. Bahkan pepujian yang biasanya bertalu-talu selepas adzan saja hening. Tarawih dibatasi. Ini pertama kali ada salat tarawih yang berjarak. Biasanya selalu ada anjuran untuk merapatkan saf.
Ramadan 2020 adalah Ramadan tanpa hiruk-pikuk perkumpulan. Tidak ada ngaji bareng offline, tidak ada buka puasa yang biasanya memenuhi setiap tempat makan. Tidak ada lagi kebingungan mau buka puasa bersama siapa. Hening….
Ramadan 2020 adalah ramadan sepi, kebanyakan pesantren meliburkan santrnya. Pengajian yang biasanya berderet-deret di pesantren, kini beralih ke pengajian online. Enggak ada pesantren ramadan. Ramadan yang memaksa kita untuk menjadikan rumah-rumah sebagai masjid.
Ramadan 2020 adalah ramadan dengan ujian keistiqamahan. Apakah tetap istiqamah tadarus, tarawih tanpa keriuhan. Apakah tarawih tetap khusuk dan tuma’ninah meski hanya di rumah. Apakah tetap produktif ibadah meski hanya di rumah.
Ramadan 2020 adalah ramadan yang seharusnya bisa full ibadah karena dipaksa di rumah saja, tetapi nyatanya toh, waktu habis untuk menonton. Eh. Ramadan yang tidak dipusingkan dengan urusan baju dan kue. Ternyata, tanpa baju baru dan sederet kue, akhir ramadan bisa khusuk menghabiskan waktu untuk mengejar yang tertinggal.
Jelang Lebaran 2020, Mudik yang Tertunda
Mudik kali ini harus ditunda. Kami berencana menikmati lebaran di tanah rantau. Bertiga bareng si K. Enggak ada persiapan lebaran khusus seperti yang telah lalu. Santai banget. Mungkin ini pertama kali aku enggak menghitung kapan lebaran datang. Biasanya menghitung mundur, menakar-nakar apa yang perlu disiapkan untuk mudik.
Sekarang, melihat kalender lebaran hanya untuk memastikan bahwa aku masih bisa mengejar ibadah di bulan yang suci ini.
Ibu pun enggak repot-repot bebikinan. Ini lebaran yang prihatin, katanya. Enggak ada kue-kue. Enggak ada sederet ketupat atau opor ayam. Enggak ada amplop-amplop dengan isi yang berderet-deret. Enggak ada jadwal kunjungan yang padat.
Lebaran kali ini, dirayakan dalam hening.
Hening yang membuat tabuhan rindu semakin bertalu-talu. Oh, betapa nikmatnya bisa mudik. Betapa banyaknya nikmat yang abai disyukuri. Betapa berpanas-panas ria, bermacet-macet ria kala lebaran tiba, enggak ada apa-apanya dibanding pandemi covid-19 sekarang.
Allah Mengajarkan kita untuk lebih bersyukur dengan merasakan perayaan lebaran yang hening.